Sudutkota.id- Eksekusi pengosongan rumah dinas Direktur Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Kota Malang berlangsung ricuh yang berada di Jalan Ijen, Kota Malang, pada Jumat (14/06/2024).
Kericuhan itu disebabkan oleh sejumlah massa dari pihak keluarga yang menghadang petugas di pintu gerbang dalam pengosongan lahan tersebut. Aksi dorong mendorong pun tak terhindarkan.
Dengan adanya penghadangan oleh sejumlah massa, petugas pun langsung bertindak tegas dan beberapa orang harus diamankan karena berpotensi meningkatkan eskalasi kericuhan.
Dari pantauan di lapangan oleh media ini, petugas pun akhirnya berhasil masuk ke dalam rumah yang akan dikosongkan, petugas harus memotong gembok rantai yang diikatkan pada pagar besi pintu masuk halaman rumah.
Setelah itu, nampak para petugas mengangkut seluruh perabotan yang ada dirumah tersebut dengan menggunakan lebih dari 5 truk secara bertahap.
Sementara itu, Wakil Direktur Umum dan Keuangan RSSA Malang, Henggar Sulistiarto menyampaikan, lahan dan bangunan rumah dinas tersebut merupakan aset Pemprov Jatim yang hak penggunaannya diamanahkan ke RSSA Malang.
Yang mana, rumah dinas tersebut dahulu dihuni oleh Direktur RSSA Malang periode 1959-1966, yakni dr Sosodoro Djatikusumo. Namun setelah pensiun dan wafat, rumah dinas itu tetap dihuni oleh keluarganya hingga saat ini.
“Penertiban harus dilakukan. Memang aset ini milik Pemprov Jatim yang penggunaannya diamanahkan ke RSSA,” terang Henggar.
Dari hasil barang penertiban, sambung Henggar, akan disimpan oleh petugas di gudang milik RSSA Malang, di kawasan Kecamatan Tajinan Kabupaten Malang.
“Jadi, rumah dinas itu rencananya akan dipergunakan untuk rumah dinas direktur RSSA Malang saat ini. Setelah dikosongkan akan dikembalikan sebagai rumah dinas lagi untuk direktur kami,” jelasnya.
Sementara itu, cucu mendiang dr Sosodoro Djatikusumo yaitu Aria Cipta Soebandrio menyampaikan, pihak keluarga bertahan karena pihak RSSA pernah meminjami uang sebesar Rp 200 ribu hasil menjual rumah di Kediri seluas 1.000 meter persegi seharga Rp 300 ribu pada tahun 1959, namun belum dikembalikan.
“Uang Rp 200 ribu itu dipinjamkan ke RSSA, hingga beliau meninggal uang itu belum dikembalikan,” tandasnya.
Lebih jauh Aria mengungkapkan, pada waktu dulu kakeknya sempat menawarkan untuk membeli rumah dinas itu dengan cara dicicil sebagai ganti hutang tersebut. Namun pihak RSSA tak memberikan kejelasan yang pasti.
Kemudian, kakeknya meminta izin RSSA untuk menempati rumah itu karena sudah tidak memiliki rumah pribadi.
“Sampai beliau meninggal tahun 1983 hingga sekarang belum ada kejelasan. Uang senilai Rp 200 ribu pada tahun 1959 itu, jika dikonversi ke tahun 2024 ini bisa mencapai Rp 200 miliar. Maka dari itu, kami menggugat agar RSSA Malang membayar piutang itu senilai Rp 10 miliar saja. Eyang kami kan juga sudah berjasa, bahkan nama eyang kami dipakai untuk nama rumah sakit di Bojonegoro,” pungkasnya. (Mt)