Sudutkota.id – Saya pertama kali melihat Hari-Hari yang Lucu di pameran Matarantai 2025, tepatnya pada 8 Mei lalu. Di antara deretan karya yang cenderung serius, kontemplatif, dan konseptual, lukisan ini langsung mencuri perhatian saya. Warnanya mencolok, kaya detail, dan ada sesuatu yang menggelitik di tengah keramaiannya.
Saat itu kebetulan sang pelukis, Widya Hadi, juga hadir. Percakapan singkat kami memberi saya gambaran lebih utuh tentang bagaimana karya ini lahir—dari keinginan sederhana untuk menertawakan hal-hal besar, dan dari dorongan jujur seorang warga biasa yang resah, namun tidak sinis. Momen itu mengubah cara saya memandang lukisan ini: bukan sekadar karya visual, melainkan potret imajinatif dari keseharian sosial-politik kita—akrab sekaligus absurd.
Di tengah kecenderungan seni rupa kontemporer Indonesia yang lebih sering menampilkan kompleksitas gagasan dan ekspresi serius, Widya hadir dengan pendekatan yang segar dan jenaka. Dalam Hari-Hari yang Lucu (2025), ia menghadirkan parade Presiden Indonesia lintas generasi dalam format ilustrasi penuh warna, hidup di atas lembar komik raksasa.
Latar belakangnya sebagai lulusan hukum yang menjadikan seni sebagai kegiatan personal justru memberinya sudut pandang yang jernih: tidak terbebani teori, tetapi digerakkan oleh ketulusan pengamatan dan pengalaman hidup sehari-hari. Karya ini menjadi arena bermain antara sejarah dan humor, antara nostalgia dan kritik sosial, dalam bahasa visual yang tajam namun ringan.
Berukuran 150 x 150 cm dan dibuat dengan akrilik di atas kanvas, Hari-Hari yang Lucu menampilkan sebuah buku komik terbuka sebagai latar utama. Komik itu digambarkan dalam perspektif tiga dimensi, menciptakan ilusi bahwa halamannya melengkung ke arah penonton. Dari dalam halamannya, puluhan figur manusia—mayoritas menyerupai tokoh politik Indonesia lintas generasi—tampak melompat keluar dari batas gambar. Mereka muncul dalam pose-pose jenaka: duduk, berdiri, berlarian, hingga bercengkerama, menciptakan keramaian visual yang padat dan semarak.
Wajah-wajah tokoh politik digambarkan dengan gaya realis, lengkap dengan ekspresi khas yang mudah dikenali. Namun tubuh mereka justru bergaya kartunal—proporsi aneh, warna mencolok, dan gestur yang dilebih-lebihkan. Kontras ini menciptakan ketegangan visual sekaligus membangun jarak kritis antara identitas personal dan peran publik mereka.
Tokoh-tokoh fiksi seperti Spiderman dan karakter dari Squid Game turut hadir, mempertebal nuansa pop dan absurditas. Beberapa benda sehari-hari—sendok, pensil, secarik kertas—terlihat melayang keluar dari lukisan, memperkuat efek trompe l’oeil dan menunjukkan kecermatan teknik Widya dalam memainkan ilusi dan narasi.
Salah satu elemen yang memperkaya makna karya ini adalah keberadaan tulisan tangan “dasyat” dan tanda tangan Putu Sutawijaya di bagian bawah lukisan. Gestur sederhana ini mengandung makna simbolik: bukan sekadar pujian, tetapi partisipasi langsung dalam ruang gambar. Putu tidak hanya memberi komentar, melainkan masuk ke dalam karya—menjadikannya ruang dialog antar seniman yang spontan dan setara.
Karya ini menyimpan kritik sosial-politik yang tajam namun bungkus dalam penyajianya ringan. Figur-figur politik ditampilkan dalam format komikal, memperlihatkan bagaimana realitas politik Indonesia kerap menyerupai drama panggung: penuh konflik, tokoh-tokoh ikonik, dan absurditas yang berulang.
Penggunaan komik bukan hanya pilihan estetika, melainkan metafora dari cara publik mengonsumsi politik—sebagai gosip, hiburan, bahkan lelucon. Dengan menghadirkan para tokoh besar dalam tubuh kartunal, Widya memanusiakan mereka sekaligus menertawakannya. Humor menjadi cara untuk menjaga jarak dari aura kekuasaan dan mengembalikan posisi kritis warga terhadap wacana publik.
Sementara itu, kehadiran karakter budaya populer menunjukkan betapa tipisnya batas antara fiksi dan realitas—antara tokoh rekaan dan tokoh negara, antara panggung politik dan layar hiburan. Dalam lanskap seni rupa Indonesia yang kerap memberi tempat lebih pada seniman berlatar institusi formal, gestur Putu Sutawijaya memiliki arti penting.
Ia mengaburkan batas antara pusat dan pinggiran, antara akademik dan autodidak. Tindakan menuliskan “dasyat” di atas karya orang lain menjadi bentuk pengakuan yang tulus dan membuktikan bahwa seni yang kuat bisa muncul dari mana saja, selama ia berbicara dengan jujur.
Hari-Hari yang Lucu adalah contoh seni rupa yang hidup—jenaka, reflektif, dan penuh teknik, namun tetap cair. Ia tidak hanya menghibur, tetapi juga mengajak kita menertawakan kenyataan dengan kesadaran. Melalui tawa, karya ini membingkai ulang sejarah dan sosial-politik Indonesia dengan kecerdasan visual yang membumi.
Intervensi Putu menegaskan bahwa dalam dunia yang gaduh dan absurd, mungkin seni yang paling jujur adalah seni yang mampu membuat kita tertawa—bukan karena lucu semata, tapi karena kita akhirnya mengerti.
Malang, 1 Juni 2025
Penulis: Sapto B. Wasono
-Kritikus Seni
-Essais senirupa
-Co-Founder Indokreatif