Proses pembelajaran santri di SMP Tsurayya Islamic School Malang. (foto: sudutkota.id/TISMA)
Sudutkota.id– Memilih sekolah hari ini bukan perkara mudah. Terutama bagi orang tua yang tidak hanya mencari tempat belajar, tetapi juga lingkungan yang bisa menerima anaknya apa adanya.
Di kabupaten atau kota seperti Malang atau bahkan Indonesia, pilihan sekolah Islam cukup banyak. Masing-masing membawa nama besar, program unggulan, dan target yang mengesankan. Namun justru di tengah kelimpahan itu, muncul kegelisahan yang jarang diucapkan dengan lantang: apakah anak saya akan tumbuh di sana, atau hanya dituntut untuk menyesuaikan diri dengan program yang ada?
Tidak semua anak datang ke sekolah dengan kesiapan yang sama. Ada yang sejak awal terlihat rapi dan percaya diri. Ada yang masih mencari pijakan. Ada yang cepat menangkap pelajaran, ada pula yang membutuhkan waktu lebih panjang. Ini bukan soal pintar atau tidak. Ini soal proses. Sayangnya, tidak semua sekolah memberi ruang bagi proses.
Proses pembelajaran santri di SMP Tsurayya Islamic School Malang. (foto: sudutkota.id/TISMA)
Pendidikan yang Berangkat dari Penerimaan.
Dalam nilai-nilai Islam, perbedaan bukan sesuatu yang harus dihapus. Ia justru diakui sebagai bagian dari sunnatullah. Maka pendidikan Islam yang sehat semestinya berangkat dari penerimaan, bukan penyeragaman.
Sekolah yang memilih jalan ini biasanya tidak tergesa memberi label. Anak tidak langsung dikelompokkan sebagai “unggul” atau “tertinggal”. Guru lebih sibuk mengenali karakter, kebiasaan, dan latar belakang keluarga. Ada kesadaran bahwa anak bukan kertas kosong, tapi pribadi yang sudah membawa cerita.
Pendekatan semacam ini bisa ditemukan di beberapa sekolah Islam yang tumbuh dengan kesadaran itu. Salah satunya adalah Tsurayya Islamic School Malang (TISMA).
Sejak awal, TISMA mengambil posisi untuk tidak eksklusif dan terbuka bagi berbagai latar belakang keluarga, dengan prinsip pendidikan untuk semua kalangan. Anak diterima sebagai amanah, bukan sebagai angka capaian.
Di ruang belajar seperti ini, rasa aman menjadi pondasi. Dan dari rasa aman itulah keberanian belajar perlahan muncul.
Tentang Disiplin yang Tidak Membuat Anak Takut.
Disiplin sering kali dipahami secara sempit: patuh, cepat, dan tanpa banyak tanya. Padahal disiplin yang bertahan lama justru lahir dari pemahaman.
Sekolah yang berpihak pada pertumbuhan anak biasanya memilih jalan yang lebih sunyi. Mereka membangun kebiasaan. Mengulang hal-hal kecil. Menegur dengan nada yang mendidik, bukan mengintimidasi.
Di TISMA, misalnya, disiplin dan kemandirian tidak hanya hadir dalam aturan tertulis. Ia dibentuk lewat rutinitas harian, lewat contoh, lingkungan, dan lewat pendampingan yang konsisten. Anak dilatih bertanggung jawab, bukan ditekan untuk segera sempurna.
Proses ini memang tidak instan. Tapi justru di situlah nilai pendidikan bekerja.
Proses pembelajaran santri di SMP Tsurayya Islamic School Malang. (foto: sudutkota.id/TISMA)
Ketika Ilmu, Iman, dan Karakter Tidak Dipisahkan.
Ada sekolah yang kuat secara akademik, tetapi kering secara nilai. Ada pula yang religius dalam simbol, tetapi kurang membumi dalam praktik. Pendidikan Islam yang utuh seharusnya tidak memilih salah satunya.
Di beberapa sekolah berbasis pesantren modern, termasuk TISMA, upaya mengintegrasikan ilmu, iman, dan karakter menjadi perhatian utama.
Nilai Qur’ani tidak berhenti di kelas, tetapi hadir dalam keseharian. Cara guru berbicara, cara menegur, bahkan cara menunggu anak yang belum bisa, menjadi bagian dari pendidikan itu sendiri.
Dari proses yang panjang dan tidak selalu terlihat inilah, karakter perlahan dibentuk. Bukan sekadar anak yang pintar, tetapi anak yang tahu adab, berani bertanggung jawab, dan mampu berdiri sendiri.
Sekolah yang Mau Mendengar Keluarga
Satu hal yang sering terlupakan dalam pendidikan adalah peran keluarga. Sekolah yang merasa paling tahu biasanya menutup ruang dialog. Padahal orang tualah yang paling lama hidup bersama anak.
Sekolah yang matang justru membuka ruang komunikasi. Mendengar cerita dari rumah. Menyesuaikan pendekatan tanpa kehilangan arah nilai. Relasi semacam ini tidak selalu mudah, tetapi sangat menentukan keberhasilan pendidikan.
Model kolaborasi ini juga terlihat di TISMA, di mana komunikasi dengan orang tua diposisikan sebagai bagian dari proses, bukan sekadar pelengkap administrasi.
Sekolah yang memilih menumbuhkan, bukan menyaring, memang tidak selalu tampak mencolok. Ia jarang berisik. Tidak tergesa memamerkan hasil. Ia bekerja dalam keseharian yang kadang sunyi dan berulang.
Namun dari ruang-ruang seperti inilah anak belajar mengenal diri, membangun kepercayaan, dan menemukan arah hidupnya.
Di tengah dunia pendidikan yang makin cepat dan kompetitif, pilihan untuk berjalan pelan mungkin terlihat aneh. Tapi justru dari kesabaran itulah pendidikan Islam yang membumi terus hidup.
Dan sekolah-sekolah yang menjaga nilai ini, termasuk Tsurayya Islamic School Malang, sedang mengingatkan kita bahwa mendidik anak bukan soal siapa yang paling cepat sampai, melainkan siapa yang paling bertanggung jawab dalam menemani perjalanan.