Sudutkota.id – Papan bertuliskan “Masih Sengketa di Pengadilan” kini berdiri mencolok di depan pabrik pengolahan karet dan saos milik Ega Pragawinata di Jalan Simpang LA Sucipto, Kota Malang.
Papan itu bukan sekadar pengumuman, melainkan simbol perlawanan. Pemilik pabrik yang juga pengusaha kawakan berusia 78 tahun ini, bersama empat saudaranya, resmi menggugat eksekusi lelang pabrik mereka yang dinilai cacat prosedur.
Langkah hukum itu dilayangkan ke Pengadilan Agama (PA) Kota Malang pada 18 Mei 2025 lewat kuasa hukum mereka, Dr. Yayan Riyanto, SH, MH bersama dua advokat lainnya, V. L. F. Bili, SH, MH dan Rifqi I. Wibowo, SH.
Dalam gugatan perlawanan yang teregister dengan nomor perkara 1056/Pdt.G/2025/PA.MLG, mereka menuntut agar proses lelang yang dijadwalkan berlangsung Selasa, 27 Mei 2025 di KPKNL Malang dibatalkan.
“Lelang ini tidak hanya melabrak prosedur hukum, tapi juga melukai rasa keadilan. Ada pelanggaran prinsipil dalam pelaksanaannya,” tegas Yayan saat menunjukkan dokumen gugatan ke awak media.
Permasalahan berawal pada tahun 2015. Saat itu, Ega mengajukan pembiayaan senilai Rp 25 Miliar ke Bank Panin Dubai Syariah Malang. Ia menyerahkan 12 sertifikat hak milik (SHM) atas pabrik sebagai jaminan, yang total nilainya kala itu ditaksir mencapai Rp 31,2 Miliar.
Selama dua tahun, bisnis berjalan mulus. Ega bahkan membayar bagi hasil (nisbah) sebesar Rp 5,5 Miliar dan berhasil menebus dua dari 12 sertifikat. Namun, badai datang di 2018. Usaha mulai terguncang. Pembayaran tersendat. Lalu datang surat sita eksekusi dari PA Malang pada awal 2019.
Yang membuat kubu Ega berang, pihak bank langsung menggulirkan proses lelang tanpa upaya penyelesaian bersama. Padahal, menurut Yayan, kliennya sempat menawarkan solusi untuk menjual jaminan secara bersama-sama dengan harga pasar yang adil.
“Ini bukan debitur yang lari. Klien kami masih ingin bertanggung jawab. Tapi bukan dengan dipaksa menyerahkan aset puluhan miliar lewat proses yang cacat hukum,” tandasnya.
Lebih jauh, Yayan menyebut akar persoalan justru terletak pada akad pembiayaan itu sendiri. Dalam perjanjian Line Facility (Musyarakah) No. 09/2015 yang dibuat di hadapan notaris Diah Aju Wisnuwardhani, penyelesaian sengketa disepakati melalui Pengadilan Negeri.
Padahal, menurut Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan diperkuat putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012, seluruh sengketa perbankan syariah wajib diselesaikan di Pengadilan Agama.
“Akad itu batal demi hukum. Maka eksekusinya pun tidak sah,” tegas Yayan.
Pihaknya juga meminta appraisal ulang atas nilai jaminan dan menghitung kembali sisa utang Ega ke bank.
“Masih ada opsi tebus satu per satu SHM. Klien kami tidak menolak bayar, tapi menolak diperlakukan seolah tidak berniat menyelesaikan,” tambahnya.
Sementara itu, pihak Bank Panin Dubai Syariah Malang belum memberi keterangan resmi. “Silakan ajukan surat ke institusi,” ujar salah satu staf saat dimintai konfirmasi. Dari pihak KPKNL Malang juga hanya menyampaikan bahwa surat keberatan dari kuasa hukum Ega sudah dijawab sesuai prosedur.
Adapun Ketua PA Kota Malang, Dr. Hj. Nurul Maulidah, S.Ag, MH belum dapat dikonfirmasi. Informasi terakhir menyebutkan beliau sedang berada di luar kota.
Kini, menjelang tanggal eksekusi yang tinggal hitungan hari, Ega dan keluarganya berharap majelis hakim PA Malang bersikap bijak. Satu harapan mereka, pabrik yang dibangun bertahun-tahun itu tidak hilang hanya karena prosedur hukum yang diduga dilompati.(mit)