Opini

Gading Lamaholot di Persimpangan Zaman: Ketika Warisan Adat Bertemu Regulasi Konservasi Negara

77
×

Gading Lamaholot di Persimpangan Zaman: Ketika Warisan Adat Bertemu Regulasi Konservasi Negara

Share this article
Gading Lamaholot di Persimpangan Zaman: Ketika Warisan Adat Bertemu Regulasi Konservasi Negara
Taslim Pua Gading, SH, MH.(foto:sudutkota.id/dok)

Sudutkota.id – Di tengah geliat modernisasi dan penegakan hukum lingkungan, Indonesia kembali dihadapkan pada satu pertanyaan klasik namun krusial: sampai di mana negara memberi ruang bagi tradisi adat untuk tetap hidup tanpa menabrak regulasi nasional?

Pertanyaan ini menemukan relevansinya dalam tradisi masyarakat Lamaholot, khususnya penggunaan gading gajah sebagai mahar adat perkawinan yang diwariskan secara turun-temurun.

Bagi masyarakat Lamaholot di Flores Timur dan sekitarnya, budaya bukan sekadar ornamen masa lalu. Ia adalah sistem nilai yang hidup, mengatur relasi sosial, menjaga kehormatan keluarga, dan menjadi fondasi identitas kolektif.

Dalam konteks ini, gading bukan dipahami sebagai komoditas satwa liar, melainkan simbol martabat, ikatan kekerabatan, serta legitimasi adat yang telah ada jauh sebelum Republik Indonesia berdiri.

Sebagai putra asli Adonara yang konsisten menyuarakan kepedulian terhadap keberlangsungan adat Lamaholot, penulis menegaskan bahwa budaya bagi masyarakatnya adalah “napas kehidupan”.

Setiap ritus, simbol, dan benda adat merupakan pesan leluhur yang tidak bisa dipisahkan dari jati diri orang Lamaholot. Tradisi gading dalam perkawinan adat adalah salah satu penanda penting dari sistem sosial tersebut.

Dalam perspektif antropologi klasik, budaya mencakup keseluruhan pengetahuan, nilai moral, adat, dan kebiasaan yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat. Ia bukan hanya hasil cipta, rasa, dan karsa, tetapi juga mekanisme adaptasi sosial.

Pandangan Soemardjan dan Soemardi menempatkan kebudayaan sebagai manifestasi dinamis yang membantu manusia menjaga harmoni dengan lingkungan dan sesamanya. Maka, bagi masyarakat Lamaholot, nilai budaya tidak hanya terlihat, tetapi dirasakan dan dijalani dalam setiap keputusan hidup.

Masalah muncul ketika tradisi yang hidup ini bersinggungan dengan regulasi negara, khususnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pasal yang melarang kepemilikan dan pemanfaatan bagian tubuh satwa dilindungi, termasuk gading gajah, menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat adat. Di sinilah terjadi irisan tajam antara hukum adat dan hukum negara.

Padahal, konstitusi melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara tegas mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan zaman.

Prinsip ini seharusnya menjadi roh dalam setiap kebijakan turunan, termasuk regulasi konservasi. Ketika hukum positif justru berpotensi mematikan tradisi yang tidak melibatkan praktik perburuan baru, maka yang patut dipertanyakan bukan adatnya, melainkan desain kebijakannya.

Penting ditegaskan bahwa masyarakat Lamaholot tidak menolak konservasi. Perlindungan satwa liar adalah agenda bersama yang tidak bisa ditawar. Namun, pendekatan hukum yang seragam tanpa sensitivitas budaya berisiko menciptakan ketidakadilan baru. Gading yang diwariskan secara turun-temurun bukanlah hasil eksploitasi alam masa kini, melainkan artefak sejarah dan identitas budaya.

Negara, dalam posisi ini, dituntut untuk hadir sebagai penengah yang bijaksana. Harmonisasi kebijakan menjadi keniscayaan, misalnya melalui skema pengecualian terbatas terhadap benda adat warisan, pendataan gading lama, atau mekanisme perlindungan khusus bagi praktik budaya yang tidak berdampak pada populasi satwa. Dengan cara ini, konservasi tetap berjalan, sementara tradisi tidak tergerus oleh regulasi yang kaku.

Gading Lamaholot adalah cermin dari dilema yang lebih besar: bagaimana Indonesia merawat keberagaman budaya tanpa mengorbankan komitmen lingkungan. Jawabannya bukan memilih salah satu, melainkan merajut keduanya dalam kebijakan yang adil, kontekstual, dan berkeadaban. Karena pada akhirnya, negara yang besar bukan hanya yang mampu melindungi alamnya, tetapi juga yang sanggup menjaga martabat budaya leluhurnya.

Penulis: Taslim Pua Gading, S.H., M.H.,
Praktisi Hukum, Putra Asli Adonara

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *