Sudutkota.id – Mulai 2 Februari 2026, berbagai surat tanah berbasis adat seperti Letter C, Petok D, Girik, Pipil, dan Landrente tidak lagi berlaku sebagai bukti kepemilikan yang sah.
Ketentuan ini mengacu pada PP Nomor 18 Tahun 2021, menegaskan seluruh dokumen adat hanya dapat digunakan sebagai petunjuk lokasi tanah, bukan sebagai alas hak dalam pembuktian hukum.
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid sebelumnya menyampaikan bahwa begitu suatu wilayah ditetapkan sebagai kawasan lengkap dan seluruh bidang tanahnya telah terpetakan, maka dokumen adat otomatis gugur sebagai bukti kepemilikan.
“Kondisi ini membuat masyarakat yang masih bergantung pada surat-surat adat berpotensi menghadapi masalah hukum di kemudian hari,” kata advokat Bales Pribadi Suharsono, SH, Rabu (3/12/2025), menyikapi rencana pemerintah itu.
Pengacara dari Bghezt Law Firm Kota Malang itu mengingatkan masyarakat agar tidak menunda proses peningkatan status tanah adat menjadi sertifikat. Menurutnya, jika tanah tidak segera diurus sebelum batas waktu, maka pemilik tidak bisa menggunakan dokumen adat untuk menguatkan hak miliknya, terutama saat menghadapi sengketa.
“Dokumen adat setelah tanggal 2 Februari, tidak hilang. Namun hanya sebatas petunjuk bahwa seseorang pernah menguasai tanah, sementara pembuktian harus dilengkapi dokumen pendukung seperti SPPT PBB, bukti penguasaan fisik minimal sekitar 20 tahun, serta alat bukti lain ketika mengajukan permohonan hak,” urainya.
Bales, sapaannya menegaskan bahwa arah kebijakan pertanahan saat ini memang menuju digitalisasi, termasuk sertifikat elektronik, sehingga standar pembuktian kepemilikan harus jelas, terpetakan, dan terverifikasi.
Dokumen adat yang bentuk dan istilahnya berbeda-beda dianggap tidak lagi memenuhi standar pembuktian modern. “Kondisi ini paling banyak terjadi di wilayah pedesaan, di mana banyak warga merasa cukup dengan dokumen turun-temurun tanpa sadar risiko hukum yang mengintai,” papar dia.
Pria ini menyarankan agar pemerintah daerah membentuk tim pendamping atau posko bersama dengan akademisi hingga organisasi advokat untuk membantu warga dalam mengurus peningkatan status tanahnya.
“Pemerintah juga dapat bekerja sama dengan ATR/BPN, perbankan, serta perangkat kecamatan dan desa untuk memberikan sosialisasi dan bantuan pembiayaan bagi warga yang kesulitan,” pintanya.
Masih menurut dia, pendampingan kolektif dianggap dapat mempercepat proses dan menutup peluang mafia tanah memanfaatkan celah ketika dokumen adat tidak lagi memiliki kekuatan pembuktian.
“Kondisi seperti ini pernah terjadi pada masa kolonial Belanda, ketika tanah adat tanpa bukti kuat dinyatakan sebagai tanah negara. Karena itu, masyarakat diminta untuk segera mengurus sertifikat agar tidak menghadapi persoalan serupa di masa mendatang,” tegasnya.
Bales menegaskan bahwa kepastian hukum harus menjadi prioritas, sebab nilai tanah terus meningkat dan risiko sengketa semakin besar. Masyarakat diimbau tidak menunggu hingga batas akhir, agar hak atas tanah tetap terlindungi secara hukum.




















