Daerah

Polemik Tembok Griyashanta: Antara Tata Ruang Kota Malang dan Tarik Ulur Kepentingan Bisnis Properti

36
×

Polemik Tembok Griyashanta: Antara Tata Ruang Kota Malang dan Tarik Ulur Kepentingan Bisnis Properti

Share this article
Polemik Tembok Griyashanta: Antara Tata Ruang Kota Malang dan Tarik Ulur Kepentingan Bisnis Properti
Rencana pembukaan jalan tembus di kawasan elite Griyashanta memicu resistensi warga dan dugaan campur tangan kepentingan bisnis. Pemkot Malang diminta transparan soal izin dan tujuan proyek tersebut.(foto:sudutkota.id/mit)

Sudutkota.id – Sebuah tembok setinggi hampir tiga meter di Perumahan Griyashanta, Kecamatan Lowokwaru, kini menjadi simbol perlawanan warga terhadap kebijakan tata ruang Kota Malang.

Spanduk besar bertuliskan “Tolak Jalan Tembus” terpasang di dinding beton itu, menggambarkan ketegangan antara kepentingan pembangunan dan keresahan masyarakat.

Di balik tembok yang disebut warga sebagai “Tembok Berlin Griyashanta”, tersimpan kisah rumit tentang tata ruang, bisnis properti, hingga tarik ulur politik ruang kota.

Akar Masalah: Jalan Tembus yang Dianggap “Tidak untuk Umum”

Penolakan datang dari warga RW XII Perumahan Griyashanta, yang terdiri dari delapan RT. Mereka menolak rencana pembukaan akses jalan menuju kawasan Candi Panggung, yang dianggap hanya menguntungkan pengembang di balik kompleks mereka.

“Kalau jalan tembus itu dibuka, yang terdampak justru warga. Jalan kami bisa berubah jadi jalur umum, sementara manfaatnya bukan untuk publik,” ujar Sugiharso, perwakilan warga RW XII, Rabu (22/10/2025) lalu.

Sikap warga kian tegas setelah nama Universitas Brawijaya (UB) disebut turut menyatakan keberatan. Meski kampus tersebut memiliki lahan bersebelahan dengan lokasi jalan yang direncanakan.

“UB malah menolak, padahal secara logika mereka diuntungkan. Ini yang menimbulkan kecurigaan adanya kepentingan lain,” ungkap salah satu tokoh warga.

Pemkot Malang: Masuk Rencana Resmi Tata Ruang Kota

Berbeda dengan warga, Pemerintah Kota Malang memastikan bahwa rencana pembukaan Jalan Tembus Griyashanta–Candi Panggung sudah tertuang dalam Peraturan Wali Kota Malang Nomor 18 Tahun 2024. Dalam dokumen tersebut, jalur tersebut berstatus sebagai jalan lingkungan sekunder, bagian dari upaya konektivitas antar kawasan kota.

Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (DPUPRPKP) menyebut proyek itu selaras dengan RTRW dan RDTR Kota Malang 2024–2044. Namun, pelaksanaannya tidak bisa dilakukan sepihak.

Dalam surat resmi DPUPRPKP bernomor 650/144/35.73.403/2025, dinyatakan bahwa pembukaan akses baru harus melalui koordinasi dan kesepakatan dengan warga sekitar serta pengembang terkait.

DPRD Minta Transparansi: “Jangan Ada Kepentingan Bisnis yang Menumpang”

Anggota Komisi C DPRD Kota Malang, Dito Arief Nurakhmadi, meminta Pemkot berhati-hati dalam mengambil keputusan. Menurutnya, setiap proyek publik wajib diawasi agar tidak ditunggangi kepentingan komersial.

“DPRD mendukung pembangunan untuk kepentingan umum. Tapi kita juga harus jujur, apakah proyek ini benar-benar publik atau ada motif bisnis di baliknya?” tegas Dito, Kamis (23/10/2025) lalu.

Dito mengonfirmasi bahwa lahan jalan di kawasan Griyashanta sudah diserahkan ke Pemkot sebagai Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU). Artinya, Pemkot memiliki dasar hukum untuk menata kawasan. Namun, ia menilai minimnya komunikasi sosial menjadi sumber utama konflik.

“Tanpa sosialisasi dan keterbukaan, warga wajar menolak. Pemerintah jangan terburu-buru sebelum ada mufakat,” ujarnya.

Dugaan Tarik Ulur Bisnis Properti dan Politik Ruang

Situasi makin kompleks setelah beredar isu bahwa konflik Griyashanta tak semata soal akses jalan, melainkan bagian dari bargaining politik ruang dan bisnis properti di wilayah Sigura-gura dan sekitar kampus ITN Malang.

Sumber internal Pemkot menyebut, ada kelompok tertentu yang diduga tengah bernegosiasi soal proyek pembangunan hotel yang belum sepenuhnya mengantongi izin Amdal.

“Kalau benar, ini bukan lagi persoalan jalan, tapi sudah masuk ke pertarungan modal dan politik ruang,” ujarnya.

Warga di Tengah Pertarungan Kepentingan

Sementara elite politik dan pengembang memperdebatkan status tembok itu, warga di RW XII justru merasa menjadi pihak paling dirugikan.

“Kami hanya ingin tenang. Kalau proyek ini untuk kepentingan umum, jelaskan terbuka. Tapi kalau demi keuntungan segelintir pihak, jangan atas nama warga,” keluh seorang warga RT 05.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *