Sudutkota.id – Di Kota Malang, imbauan Presiden RI Prabowo Subianto soal penghapusan Pertimbangan Teknis (Pertek) dalam proses perizinan belum sepenuhnya menyentuh praktik birokrasi di lapangan. Kantor ATR/BPN Kota Malang memilih tetap mematuhi aturan lama, karena belum ada payung hukum yang sah menghapus prosedur tersebut.
“Selama belum ada dasar hukum tertulis, kami tetap mengacu pada aturan sebelumnya,” ujar Kepala Kantor ATR/BPN Kota Malang, Kusniyati, S.SiT., M.Mpub kepada sudutkota.id, Rabu (28/5/2025).
Bagi masyarakat awam, Pertek adalah satu dari sekian banyak tahapan berbelit dalam proses perizinan pemanfaatan ruang. Dokumen ini berisi penilaian teknis BPN tentang kesesuaian lokasi permohonan dengan tata ruang yang berlaku. Tanpa Pertek, izin pemanfaatan ruang bisa mandek di tengah jalan.
Padahal, Presiden Prabowo belum lama ini menyuarakan harapan besar, penyederhanaan perizinan. Ia meminta agar Pertek ditiadakan demi efisiensi waktu dan kemudahan investasi. Namun, suara itu belum bergema di kantor-kantor pelayanan seperti BPN Kota Malang.
“Kami masih menunggu regulasi turun. Bisa dalam bentuk peraturan menteri, atau keputusan presiden. Selama itu belum ada, Pertek tetap kami berlakukan,” ujar Kusniyati.
Dalam praktiknya, BPN Kota Malang membagi proses KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang) ke dalam dua jalur. Yakni, berusaha dan non-berusaha. Untuk kegiatan seperti pembangunan perumahan, pemohon wajib mengajukan permohonan melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Setelah itu, barulah BPN turun tangan untuk menerbitkan Pertek.
Jika lokasi permohonan masuk dalam zona Lahan Sawah Dilindungi (LSD), proses menjadi lebih rumit. Pemohon harus mengajukan permohonan ke kementerian pusat agar status lahan diubah.
Bahkan untuk lahan yang bukan LSD, proses bisa mandek hanya karena peta tata ruang yang dimiliki antar instansi tidak sinkron.
“PMPTSP bisa menyatakan wilayah itu ruang terbuka hijau, tapi kami harus cek ulang dengan peta dan kondisi nyata di lapangan,” ungkap Kusniyati.
Tak jarang pemohon terjebak dalam silang peta antara harapan dan kenyataan. Di satu sisi, sistem DPMPTSP sudah mendigitalisasi layanan. Jika tak ada respons BPN dalam 10 hari kerja, sistem akan otomatis menyetujui. Tapi di sisi lain, BPN tetap mewajibkan verifikasi manual, dan bila ditemukan kekeliruan, proses bisa diulang dari awal.
Di balik meja pelayanan, Kusniyati tak menampik keluhan soal lambannya proses. Tapi ia menyebut, akar masalahnya sering kali berasal dari berkas yang tidak lengkap.
“Kami minta petugas buatkan berita acara kalau ada kekurangan berkas. Tujuannya biar transparan, tidak ada yang merasa dirugikan,” katanya.
Mekanisme birokrasi yang ia pimpin memang berjalan sesuai aturan. Namun bagi warga, aturan bisa berarti keruwetan. Janji percepatan layanan yang digaungkan dari Jakarta bisa jadi tak lebih dari angin lalu, jika di daerah tak ada perubahan sistemik.
Dalam suasana peralihan kepemimpinan nasional, imbauan Presiden tentang penyederhanaan perizinan menjadi sinyal reformasi birokrasi. Tapi sebagaimana sering terjadi, sinyal itu tertahan di simpul-simpul administratif.
Tanpa regulasi resmi, institusi seperti BPN tak bisa bergerak bebas, bahkan ketika arah kebijakan sudah berubah.
Warga masih harus mengantre, mengisi formulir, mengunggah berkas, dan menunggu jawaban yang bisa datang atau tidak.(mit)