Sudutkota.id – Di balik deretan rumah padat dan jalan sempit Kelurahan Bunulrejo, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, tersembunyi sebuah kawasan sunyi yang seolah terlepas dari hiruk-pikuk kota. Tempat itu bernama Makam Ngujil.
Makam Ngujil adalah sebuah kompleks pemakaman tua yang menyimpan narasi sejarah lokal yang hampir terlupakan, namun tetap hidup dalam ingatan dan laku spiritual warga sekitar.
Makam Ngujil bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir. Ia adalah ruang yang sarat dengan simbol dan makna, terutama karena diyakini sebagai kawasan hadiah dari Raja Mataram kepada seorang tokoh sakti bernama Bahlul.
Konon, Bahlul adalah pemuda pemberani yang hidup pada masa kerusuhan dan maraknya begal di wilayah Malang. Dengan kesaktiannya, ia menjadi pelindung masyarakat, menumpas para perampok, dan membawa rasa aman ke daerah ini.
“Dulu ini bukan makam, tapi taman. Hadiah dari Raja Mataram untuk Bahlul karena jasanya menjaga keamanan. Tapi karena Bahlul dianggap punya karomah, banyak orang ingin dimakamkan dekat beliau. Lama-lama jadi pemakaman,” ujar Ruslan, juru kunci makam yang telah mengabdi puluhan tahun.
Nama Bunulrejo sendiri, menurut kepercayaan lokal, berasal dari penyebutan terhadap nama Bahlul. Dari “Bahlul” menjadi “Bunul”, lalu berkembang menjadi Bunulrejo seperti dikenal saat ini. Sebuah transformasi linguistik yang merekam jejak sejarah sekaligus peran penting tokoh spiritual dalam membentuk identitas kampung.
Namun kisah menarik tak berhenti di situ. Di salah satu sudut Makam Ngujil, terdapat petak tanah kecil yang hingga kini tidak pernah ditumbuhi rumput. Lokasi tersebut diyakini sebagai tempat persemayaman keturunan Mantili, seorang pendekar wanita dari masa Kerajaan Singhasari.
Mantili dikenal dalam cerita tutur warga sebagai sosok perempuan tangguh yang membawa pedang pusaka bernama Mustika Ratu, dan menjadi penjaga batas utara kekuasaan Singhasari.
“Yang ini unik, dari dulu tidak pernah ditumbuhi rumput, bahkan saat musim hujan. Itu dipercaya sebagai makam keturunan Mantili,” tutur Ruslan.
“Dan banyak yang datang khusus ke makam itu untuk ngalap berkah atau sekadar mendoakan.”sambungnya.
Tradisi ziarah masih terus berlangsung. Setiap malam Jumat, warga datang, membawa bunga dan doa, mencari ketenangan atau harapan akan hajat tertentu. Dalam kalender tradisional masyarakat Bunulrejo, Makam Ngujil menjadi pusat dalam berbagai kegiatan adat, seperti haul tokoh leluhur dan bersih desa. Di sinilah nilai spiritual dan sosial bertemu, memperkuat ikatan antarwarga sekaligus menyambung tali sejarah.
Arum, Ketua RW 14, menuturkan bahwa makam ini sudah seperti titik orientasi spiritual warga. “Kalau ada acara, pasti ke sini. Karena ini bukan hanya makam, ini warisan. Ini tempat yang mengingatkan kita pada asal-usul.” ujar Arum
Wilayah Bunulrejo sendiri diperkirakan telah ada sejak lebih dari 125 tahun silam, pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Meski kini berkembang menjadi salah satu kawasan padat penduduk di Kota Malang, jejak sejarahnya masih terpelihara, tersembunyi dalam lorong-lorong perkampungan dan dalam cerita-cerita yang dituturkan secara lisan.
Sayangnya, narasi-narasi lokal ini masih luput dari perhatian para akademisi dan lembaga sejarah formal. Minimnya dokumentasi tertulis membuat sejarah Bahlul dan Mantili terancam terkubur oleh zaman. Namun di tengah gempuran modernisasi dan budaya instan, warga Bunulrejo tetap merawat kisah-kisah ini. Mereka menjadikannya sebagai bagian dari identitas, pengetahuan kolektif, dan kekayaan spiritual yang diwariskan turun-temurun.
Makam Ngujil bukan hanya tempat peziarahan. Ia adalah simpul budaya yang mengingatkan kita bahwa di tengah kota yang terus tumbuh, masih ada ruang-ruang sunyi yang menyimpan pelajaran dari masa lalu, tentang keberanian, kesetiaan, spiritualitas, dan nilai-nilai kemanusiaan yang tak lekang oleh waktu.(mit)