Hukum

Tantangan Tanggung Jawab Pidana di Era Algoritma, Dr Yayan Riyanto Soroti Kekosongan Regulasi AI

19
×

Tantangan Tanggung Jawab Pidana di Era Algoritma, Dr Yayan Riyanto Soroti Kekosongan Regulasi AI

Share this article
Tantangan Tanggung Jawab Pidana di Era Algoritma, Dr Yayan Riyanto Soroti Kekosongan Regulasi AI
KULIAH TAMU: Advokat Dr. Yayan Riyanto, SH, MH memberi materi dalam kuliah tamu di Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Unidha Malang, Sabtu (13/12/2025).(foto:sudutkota.id/gan)

Sudutkota.id – Perkembangan pesat teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) menjadi salah satu tantangan serius dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Hingga kini, regulasi yang khusus mengatur tanggung jawab pidana atas tindakan AI dinilai masih belum komprehensif.

Hal itu disampaikan advokat Dr. Yayan Riyanto, SH, MH, saat menjadi salah satu pemateri dalam kuliah tamu Prodi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Wisnuwardhana (Unidha) Malang, Sabtu (13/12/2025).

Materi “Tanggung Jawab Pidana di Era Algoritma: Dalam Kejahatan Siber hingga Penyalahgunaan AI” yang dia paparkan dalam acara itu, mengangkat isu strategis seputar perkembangan teknologi dan implikasinya terhadap penegakan hukum.

Dalam kuliah tamu yang menghadirkan Prof. Dr. Suko Wiyono, SH, sebagai keynote speaker, dia memaparkan bila hukum pidana di Indonesia, pada dasarnya hanya mengenal manusia dan badan hukum sebagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

“Sementara sistem AI sebagai entitas non-manusia tidak memiliki kesadaran, niat jahat, maupun kelalaian seperti disyaratkan dalam konsep mens rea. AI mengambil keputusan berbasis data dan algoritma, bahkan secara otonom melalui machine learning. Namun secara hukum, AI tidak bisa diposisikan sebagai pelaku tindak pidana,” terang dia.

Advokat Kota Malang yang memiliki kantor di Jakarta itu menambahkan, asas legalitas dalam hukum pidana juga menjadi hambatan. Tanpa aturan yang jelas dan spesifik, aparat penegak hukum akan kesulitan menentukan dasar hukum ketika terjadi kejahatan yang melibatkan AI.

“Meski UU ITE juga telah mengatur kejahatan siber, substansinya masih bersifat umum dan belum menjangkau kompleksitas teknologi AI yang terus berkembang. Dalam konteks pertanggungjawaban pidana, beban hukum tetap berada pada manusia atau badan hukum yang terlibat,” ucap dia.

“Mulai dari pengembang algoritma, pengguna atau operator sistem AI, hingga penyedia atau produsen teknologi dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terbukti lalai atau sengaja menciptakan sistem yang berpotensi menimbulkan kejahatan,” ungkapnya.

Menurut mantan Ketua DPC Peradi RBA Kota Malang itu, pengembang dapat dimintai pertanggungjawaban jika desain atau pemrograman AI mengandung kelalaian.

“Begitu pula pengguna yang menyalahgunakan AI untuk tujuan melanggar hukum,” tegas Yayan, sapaannya.

Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa kejahatan siber merupakan tanggung jawab kolektif. Tidak hanya pelaku kejahatan siber, tetapi juga penyelenggara sistem elektronik (PSE), lembaga keuangan, serta pemerintah memiliki peran penting dalam menjaga keamanan data dan sistem digital.

Masih kata dia dalam materi tersebut, penyelenggara platform digital wajib memastikan sistem berjalan aman dan stabil, serta mendukung penegakan hukum dengan menyediakan data apabila diperlukan.

“Lembaga keuangan seperti perbankan juga wajib melindungi data nasabah dan dapat dimintai pertanggungjawaban perdata jika terjadi kerugian akibat kelalaian keamanan siber,” urainya.

Sedangkan pemerintah memiliki peran strategis dalam membentuk regulasi, memetakan ancaman, memperkuat keamanan siber nasional agar masyarakat terlindungi dari dampak negatif teknologi.

“Pentingnya pembaruan regulasi agar hukum mampu mengikuti perkembangan zaman tanpa mengabaikan prinsip keadilan dan kepastian hukum,” tutup dia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *