Daerah

Wawali Ali Muthohirin: Pendidikan Kalah oleh TikTok, Kota Malang di Persimpangan Peradaban

107
×

Wawali Ali Muthohirin: Pendidikan Kalah oleh TikTok, Kota Malang di Persimpangan Peradaban

Share this article
Pedidikan itu jantung peradaban. Bukan sekadar retorika. Ucapan itu keluar dari Wakil Wali Kota Malang, Ali Muthohirin, dalam Dialog Pendidikan, yang mengaku khawatir dengan hal tersebut.
Wakil Wali Kota Malang, Ali Muthohirin, dalam Dialog Pendidikan dengan tema 'Merayakan Kebhinekaan Menguatkan Pendidikan'.(foto:sudutkota.id/mit)

Sudutkota.id – Pedidikan itu jantung peradaban. Bukan sekadar retorika. Ucapan itu keluar dari Wakil Wali (Wawali) Kota Malang, Ali Muthohirin, dalam Dialog Pendidikan, yang berteman ‘Merayakan Kebhinekaan Menguatkan Pendidikan’.

Pada kesempatan itu, Wawali Ali Muthohirin mengkhawatirkan, pendidikan hari ini bukan lagi tempat menempa karakter. Tapi telah berubah menjadi mesin produksi ijazah dan obsesi pada pekerjaan bergaji besar.

“Dulu orang tua bilang ke anak, sekolah yang pintar, biar berguna bagi bangsa. Sekarang, sekolah yang pintar, biar dapat kerja bagus,” ucap Wakil Wali Kota Malang, Ali Muthohorin, Senin (2/6/2025).

“Nilai-nilai itu berubah. Dan kita mulai kehilangan arah,” sambungnya.

Ali mengaku terganggu oleh konten-konten di TikTok atau YouTube yang lebih cepat ditiru anak-anak ketimbang nasihat guru.

“Sering saya dengar guru mengeluh. Mereka mengajar dari pagi sampai sore, tapi semua itu bisa hilang begitu saja karena satu konten viral di media sosial,” katanya.

Ia menyebut Kota Malang sedang menghadapi tantangan besar, bagaimana tetap menjadikan pendidikan sebagai benteng terakhir peradaban di tengah arus deras digitalisasi dan komersialisasi.

“Sekarang, murid-murid lebih cepat hafal video YouTube daripada pelajaran di kelas. Itu fakta,” ujarnya.

“Artis dibayar mahal untuk merusak. Guru dibayar murah untuk mendidik.” imbuh Ali.

Suarjana, Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang, menimpali dengan keprihatinan yang sama. Ia mengingatkan bahwa Kota Malang adalah miniatur Indonesia. Tempat semua suku, agama, dan budaya bertemu. Maka pendidikan di kota ini harus punya pijakan kuat pada nilai-nilai kebinekaan dan toleransi.

Baca Juga :  Dua Toko di PBM Dibobol Maling, Pedagang Keluhkan Keamanan dan Fasilitas Pasar

“Karakter kemalangan itu ramah, toleran, guyub. Tapi kalau sekolah-sekolah kita tidak lagi menanamkan itu, ya perlahan-lahan akan hilang,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan agar kebijakan pendidikan tak semata-mata populis. “Ada wacana mewajibkan salat berjamaah di sekolah-sekolah, misalnya. Itu baik. Tapi harus berbasis penelitian, bukan sekadar mengejar dukungan politik,” kata Suwarjana.

Menurutnya, pendidikan harus diletakkan dalam bingkai akademik, bukan semata-mata pada kehendak elite. “Kalau ingin membentuk karakter religius, ya ukur dulu. Jangan semua disamaratakan tanpa memahami konteks sosial tiap sekolah.”imbuhnya.

Ali Muthohir menyebut Malang sebagai kota pendidikan dengan beban besar. Penduduk resminya tak sampai 900 ribu jiwa, tapi yang hidup dan belajar di dalamnya hampir dua kali lipat.

“Lebih dari 1,6 juta orang, sebagian besar pelajar dari luar kota. Ini artinya Malang adalah tempat berseminya generasi masa depan bangsa. Kalau kita lengah, rusak di sini, rusak pula peradaban ke depan,” jelas Ali.

Ia menyayangkan bahwa dalam banyak kasus, hubungan guru dan murid kini makin renggang karena pendekatan pendidikan yang terlalu berorientasi pada teknologi.

Baca Juga :  Dinkes Kota Batu akan Sidak Puluhan Penjual Takjil

“Smartboard, aplikasi, semua itu bagus. Tapi jangan sampai hubungan emosional antara guru dan murid hilang. Pendidikan bukan cuma soal teknologi. Tapi soal hati,” ucapnya.

Ali menyebut bahwa dalam dunia digital hari ini, seorang profesor bisa kalah pengaruhnya dibanding satu meme di WhatsApp. “Itu fakta. Sekarang siapa yang dipercaya? Bukan ahli, tapi yang paling sering muncul di layar,” sindirnya.

Wakil Wali Kota dan Kadisdik sama-sama menyoroti bahwa pendidikan hari ini cenderung jadi komoditas sosial. Sekolah-sekolah berlomba mencitrakan diri demi status. Orang tua berebut memasukkan anak ke sekolah unggulan, bukan karena nilai-nilai yang ditanamkan, tapi karena gengsi dan persepsi.

“Menyekolahkan anak kini jadi standar status sosial. Itu masalah besar,” kata Ali.

Kini, di tengah gempuran teknologi, krisis sosial, dan tantangan kebijakan, pendidikan di Kota Malang menghadapi pertaruhan besar. Apakah tetap bisa menjadi jantung peradaban, atau justru jadi bagian dari pusaran disorientasi bangsa.

“Ini bukan sekadar soal sekolah, tapi soal arah bangsa ke depan.”imbuhnya.

Padahal, jika pendidikan kehilangan ruh-nya sebagai pembentuk karakter, maka apa yang tersisa dari bangsa ini.

“Kita sedang berada di persimpangan, Apakah pendidikan tetap jadi jantung peradaban atau hanya jadi jalur cepat menuju pasar kerja yang dangkal,” pungkasnya.(mit)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *