Daerah

Survei Seismik di Selatan Jawa Timur Dinilai Abaikan Nelayan, Ratusan Rumpon Diduga Hilang

20
×

Survei Seismik di Selatan Jawa Timur Dinilai Abaikan Nelayan, Ratusan Rumpon Diduga Hilang

Share this article
Survei Seismik di Selatan Jawa Timur Dinilai Abaikan Nelayan, Ratusan Rumpon Diduga Hilang
Rumpon-rumpon milik nelayan yang diputus dan dipindahkan oleh kapal survey seismik 2D PHE Jambi Merang di selatan Jawa Timur.(foto:sudutkota.id/ris)

Sudutkota.id – Aktivitas survei seismik laut yang berlangsung di perairan selatan Jawa Timur kembali menuai sorotan. Kali ini, proyek survei 2D yang dilakukan kapal milik Pertamina Hulu Energi (PHE) Jambi Merang disebut telah mengganggu ruang hidup nelayan tradisional, dengan dugaan pemutusan dan pemindahan rumpon secara sepihak.

Organisasi lingkungan Sahabat Alam Indonesia menyebut, selama periode Oktober hingga Desember, nelayan di enam kabupaten pesisir selatan Jawa Timur menghadapi tekanan ekonomi serius akibat hilangnya alat bantu tangkap yang selama ini menjadi andalan mereka di laut lepas.

“Ini bukan sekadar persoalan teknis di laut, tetapi menyangkut keberlanjutan ekonomi ribuan keluarga nelayan,” kata Andik Syaifudin, perwakilan Sahabat Alam Indonesia, Sabtu (13/12/2025).

Rumpon merupakan sarana vital bagi nelayan skala kecil untuk mengumpulkan ikan tanpa harus melaut terlalu jauh dan menghabiskan banyak bahan bakar. Namun dalam praktik survei seismik, keberadaan rumpon dinilai mengganggu lintasan alat pemetaan bawah laut sehingga diduga menjadi sasaran pemutusan.

Di wilayah Lumajang, Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, hingga Pacitan, jumlah rumpon diperkirakan mencapai ratusan unit. Setiap unitnya menopang aktivitas tangkap puluhan kapal nelayan. Totalnya, sekitar 18 ribu nelayan disebut bergantung pada sistem rumpon tersebut.

“Ketika rumpon hilang, nelayan tidak hanya kehilangan alat, tapi juga kehilangan titik ikan yang selama ini menopang hasil tangkap,” ujar Andik.

Hilangnya rumpon, lanjut Andik, berdampak langsung pada volume tangkapan harian. Nelayan kecil dengan kapal bermesin rendah biasanya mampu membawa pulang ratusan kilogram ikan seperti layang, tongkol, hingga cakalang. Sementara kapal berukuran lebih besar bisa menghasilkan hingga puluhan ton per hari dari satu kawasan rumpon.

Tanpa rumpon, nelayan harus melaut lebih jauh dengan risiko lebih tinggi dan hasil yang belum tentu sebanding. Kondisi ini dinilai memperparah kerentanan ekonomi masyarakat pesisir yang sebagian besar menggantungkan hidup dari hasil tangkapan harian.

“Ini bukan soal untung rugi perusahaan, tapi soal perut nelayan,” tegas Andik.

Sahabat Alam Indonesia memperkirakan, kerugian akibat hilangnya rumpon dan menurunnya hasil tangkap bisa mencapai ratusan Juta hingga Miliaran Rupiah per hari jika dihitung dari nilai ikan yang gagal ditangkap di seluruh wilayah terdampak.

Selain nelayan pemilik kapal, buruh anak buah kapal (ABK) juga menjadi pihak paling rentan karena penghasilan mereka sepenuhnya bergantung pada pembagian hasil laut.

“Ketika kapal pulang tanpa ikan, yang terdampak pertama adalah dapur rumah tangga nelayan,” tambahnya.

Hingga kini, Sahabat Alam Indonesia terus mengumpulkan data lapangan dan laporan nelayan terkait dampak survei seismik tersebut. Mereka mendesak adanya evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan proyek energi di laut, khususnya yang bersinggungan langsung dengan wilayah tangkap nelayan tradisional.

Organisasi ini juga meminta adanya mekanisme dialog, perlindungan, serta kompensasi yang adil jika aktivitas industri terbukti merugikan masyarakat pesisir.

“Pembangunan energi seharusnya tidak mengorbankan nelayan. Negara wajib hadir untuk memastikan keadilan ruang laut,” pungkas Andik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *