Sudutkota.id – Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Malang terhadap tiga terdakwa kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Kecamatan Sukun, Kota Malang, menuai protes tajam dari aktivis buruh migran. Hukuman yang dijatuhkan dinilai terlalu ringan dan tidak mencerminkan keadilan bagi para korban.
Dalam sidang putusan yang digelar di Ruang Garuda PN Malang, Rabu (10/9/2025), majelis hakim menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp 200 Juta subsider 6 bulan kurungan kepada terdakwa Hermin Naning Kerahayu. Sementara dua terdakwa lainnya, Dian Permana Putra dan Arti, masing-masing hanya divonis 1 tahun penjara dengan denda serupa.
Vonis tersebut jauh lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) M. Harianto, SH, yang sebelumnya menuntut ketiganya dengan hukuman 6 tahun penjara.
Koordinator Lapangan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Malang, Dina Nuriyati, menyampaikan kekecewaannya. Menurutnya, majelis hakim gagal melihat fakta-fakta persidangan yang jelas menunjukkan adanya praktik perdagangan orang.
“Teman-teman, kami dari SBMI menyatakan kecewa terhadap putusan hari ini. Vonis yang dijatuhkan sangat jauh dari tuntutan JPU. Padahal, fakta-fakta persidangan sudah mengarah pada tindak pidana perdagangan orang, bukan sekadar pelanggaran administrasi ketenagakerjaan,” tegas Dina usai mengikuti sidang.
Ia menilai, hakim justru menutup mata terhadap bukti penting seperti penahanan dokumen pekerja migran. Menurut Dina, penahanan dokumen tersebut membuat pekerja berada pada posisi yang sangat rentan.
“Ketika dokumen mereka ditahan, otomatis mereka tidak bisa menolak, tidak bisa melawan, dan akhirnya mudah dieksploitasi. Ada yang dipaksa bekerja di warung dengan alasan pelatihan mental, padahal itu jelas bentuk eksploitasi,” tambahnya.
Hal lain yang disoroti SBMI adalah tidak adanya restitusi untuk korban dalam putusan. Menurut Dina, hal itu mencerminkan lemahnya perlindungan hukum terhadap korban TPPO.
“Hak restitusi sama sekali tidak muncul di persidangan ini. Itu sangat mengecewakan. Padahal restitusi adalah hak korban yang seharusnya dipenuhi. Ini makin menunjukkan bahwa persidangan lebih memihak kepada pelaku, bukan kepada korban,” ujarnya
Dina juga menegaskan, putusan ringan seperti ini berpotensi membuka peluang kasus-kasus serupa terjadi kembali di masa depan.
“Putusan ini menjadi simbol bahwa hukum masih lemah dalam melindungi korban perdagangan orang. Jika bukti yang jelas-jelas menunjukkan eksploitasi saja tidak dijadikan pertimbangan, bagaimana bisa kita berharap ada efek jera?” katanya.
Ia mengingatkan bahwa praktik TPPO bukan hanya soal pelanggaran administratif, melainkan kejahatan serius yang melibatkan eksploitasi fisik maupun psikis.
“Banyak pekerja migran mengalami trauma karena kekerasan fisik maupun psikis yang dialami. Itu tidak boleh dianggap sepele. Seharusnya pengadilan memberikan putusan yang berperspektif korban agar ada keadilan,” tegasnya
SBMI Malang mendesak agar aparat penegak hukum mengevaluasi proses peradilan kasus TPPO.
“Kami berharap ada keberanian dari semua pihak, termasuk hakim, untuk benar-benar menempatkan korban di pusat perhatian. Jangan sampai praktik-praktik perdagangan orang justru dilihat hanya sebagai kesalahan administrasi. Itu sangat berbahaya,” pungkas Dina.
Dengan adanya putusan ini, SBMI berkomitmen terus mengawal kasus-kasus serupa agar hak-hak pekerja migran bisa terlindungi.