Ekonomi Bisnis

Saat Pengusaha Keripik di Kota Batu Berjuang Melawan Krisis Bahan Baku

6
×

Saat Pengusaha Keripik di Kota Batu Berjuang Melawan Krisis Bahan Baku

Share this article
Saat Pengusaha Keripik di Kota Batu Berjuang Melawan Krisis Bahan Baku
Khamim Tohari, pemilik Kendedes Selecta.(foto:sudutkota.id/rsw)

Sudutkota.id – Dulu, aroma apel manalagi yang baru dipetik mudah ditemui di setiap sudut Kota Batu. Kini, yang tersisa hanya wangi keripik apel di toko oleh-oleh yang ironisnya, tak lagi dibuat dari apel Batu.

Kini, di antara deretan toko oleh-oleh di sepanjang, hanya papan bertuliskan Keripik Apel Asli Batu yang masih bertahan. Tapi banyak yang tahu, apel yang digoreng itu bukan lagi dari Kota Batu.

Seperti yang disampaikan oleh pengusaha keripik buah merk Kendedes Selecta, Khamim Tohari. Dia mengatakan jika beberapa bulan terakhir, ia kesulitan mendapatkan bahan baku apel manalagi yang menjadi andalan produknya.

“Sekarang Batu tidak punya apel. Kalaupun ada, itu jenis apel anna. Rasanya asam, nggak cocok buat keripik,” ujarnya, Selasa (21/10/2025).

Bagi Khamim, apel manalagi bukan sekadar bahan baku, melainkan simbol dari kehidupan dan identitas kota. Tapi kini, untuk mendapatkannya, ia harus mencari ke luar daerah misalnya ke Nongkojajar, Poncokusumo, hingga Pujon.

“Mau nggak mau, cari dari luar. Batu sudah sulit punya apel sejak 2024, sekarang tambah parah. Harganya juga nggak masuk akal,” katanya.

Harga apel manalagi kini melonjak tajam. Grade A mencapai Rp30 Ribu per kilogram, sementara grade B Rp15 Ribu. Padahal dulu, harga dari petani hanya Rp6 Ribu.

“Sekarang harga apel itu kayak naik roller coaster. Sementara permintaan tetap tinggi,” ucapnya dengan nada getir.

Krisis bahan baku itu bukan hanya memukul pengusaha. Di baliknya, ada cerita petani yang makin sedikit.

“Mungkin sekarang petani apel tinggal lima persen. Banyak yang alih lahan ke jeruk, sayur, bahkan tanah mereka sudah dijual dan menjadi bangunan,” katanya.

Keripik apel, yang dulu menjadi kebanggaan warga Batu dan buah tangan khas wisatawan, kini ikut menyesuaikan harga. Dari Rp120 Ribu per kilogram menjadi Rp140 Ribu. Tapi bagi Khamim, kenaikan itu tidak sebanding dengan beban di lapangan.

Data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Batu mencatat kemerosotan tajam dalam lima tahun terakhir. Dari 430.057 kwintal produksi apel pada 2020, tinggal 140.285 kwintal pada 2024.

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Batu, Heru Yulianto, mengungkapkan penyebabnya anomali iklim, suhu yang meningkat, dan curah hujan tak menentu.

“Penyerbukan jadi tidak maksimal, produktivitas menurun. Usia pohon apel juga sudah tua-tua, banyak di atas 50 tahun,” jelasnya.

Selain itu, tanah di Batu kian miskin mikroorganisme akibat penggunaan pestisida dan pupuk kimia secara berlebihan.

“Produktivitas turun, biaya naik, petani makin enggan merawat. Itu lingkaran yang sulit diputus,” katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *