Featured

Perempatan Halmahera Kota Malang: Simfoni Malam di Atas Rel Warisan Kolonial

16
×

Perempatan Halmahera Kota Malang: Simfoni Malam di Atas Rel Warisan Kolonial

Share this article
Perempatan Halmahera Kota Malang: Simfoni Malam di Atas Rel Warisan Kolonial
Perempatan Jalan Halmahera, Kota Malang, yang dilintasi rel kereta api.(foto:sudutkota.id/mit)

Sudutkota.id – Di tengah geliat Kota Malang yang terus tumbuh menjadi kota modern, ada satu titik yang menyimpan jejak panjang sejarah perkeretaapian: perempatan Jalan Halmahera, tepat di kawasan Pasar Comboran.

Suara gemuruh kereta api yang melintas membawa tangki BBM Pertamina bukanlah sekadar pemandangan biasa, ia adalah fragmen dari masa lalu yang terus hidup hingga hari ini.

Perlintasan sebidang ini merupakan bagian dari jalur kereta api milik PT KAI yang telah ada sejak akhir abad ke-19. Berdasarkan catatan sejarah, jalur rel ini mulai dibangun sekitar tahun 1879–1881 oleh perusahaan kereta api Belanda, Staatsspoorwegen (SS).

Jalur ini menjadi bagian dari lintasan penting yang menghubungkan Stasiun Malang dengan wilayah Blimbing, hingga ke arah utara seperti Lawang dan Surabaya.

Tak banyak warga yang tahu bahwa di utara perempatan ini, dahulu berdiri sebuah stasiun kecil yang dikenal warga sekitar dengan nama Halte Halmahera atau Halte Comboran.

Fungsinya adalah sebagai stasiun pemberhentian kereta api barang dan penumpang, terutama untuk mendukung aktivitas pasar rakyat dan logistik industri kecil di kawasan Kota Lama.

Stasiun ini aktif pada masa kolonial hingga awal 1970-an. Namun seiring dengan perubahan arah kebijakan transportasi dan modernisasi kota, aktivitas stasiun tersebut perlahan menurun.

Baca Juga :  Nostalgia Balai Kota Malang, Misteri Jam Raksasa dan Warisan Sejarah yang Terabaikan

Akhirnya, bangunannya dibongkar dan lahannya berubah menjadi kawasan pemukiman dan pertokoan. Meski fisiknya telah tiada, jejaknya masih dapat ditelusuri dari struktur rel yang tetap aktif dilintasi kereta barang hingga hari ini.

Pasar Comboran yang berada tepat di sekitar perlintasan ini juga memiliki keterkaitan erat dengan jalur rel. Sejak dulu, kawasan ini dikenal sebagai pusat jual beli onderdil motor bekas, alat pertukangan, serta barang-barang bekas lainnya.

Kehadiran rel kereta api menjadi elemen penting dalam distribusi barang pada era sebelum berkembangnya transportasi jalan raya seperti sekarang.

Sampai hari ini, saat kereta barang melintas, para pedagang kaki lima, tukang becak, dan pengendara motor masih rutin berhenti menunggu di pinggir rel. Suasana khas ini menyatukan masa lalu dan masa kini dalam satu bingkai yang otentik.

Kini, jalur kereta api di Halmahera sudah tidak lagi melayani penumpang, melainkan difungsikan untuk kereta barang, khususnya kereta pengangkut bahan bakar minyak (BBM) milik Pertamina.

Baca Juga :  Waroeng Tani Sajikan Konsep Menu 'Makmur', Kuliner yang Wajib Dikunjungi di Malang

Kereta-kereta ini membawa tangki-tangki besar yang disuplai dari Terminal BBM di Surabaya menuju Malang dan sekitarnya. Biasanya melintas pada malam hari, rangkaian kereta ini tetap menjadi bagian penting dari sistem logistik energi nasional.

Petugas dari PT KAI dan Pertamina tampak rutin berjaga di perlintasan setiap kali kereta tangki melintas, memastikan keselamatan pengguna jalan dan kelancaran pengiriman logistik.

Sejumlah pemerhati sejarah Malang mendorong agar kawasan ini diberi penanda sejarah atau heritage signage, mengingat nilainya yang tinggi dalam perjalanan kota.

“Perlintasan Halmahera dan bekas stasiun di utaranya adalah artefak sejarah urban. Sayang sekali kalau tidak ditandai dan dilestarikan secara kultural,” ujar Dwi Santosa, peneliti sejarah transportasi dari komunitas Historia Malang.

Tak hanya sebagai jalur logistik, rel di Halmahera adalah pengingat bahwa modernitas Kota Malang bertumpu pada jaringan sejarah yang panjang dan mendalam.

Kereta yang terus melintas, lampu merah perlintasan, dan bunyi klakson lokomotif bukan hanya bagian dari rutinitas malam, mereka adalah gema dari masa lalu yang masih mengetuk pintu masa kini.(mit)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *