Featured

Menguak Sejarah Makam Ki Ageng Gribig, Simpul Warisan Islam di Timur Malang

24
×

Menguak Sejarah Makam Ki Ageng Gribig, Simpul Warisan Islam di Timur Malang

Share this article
Kompleks makam kuno di Kelurahan Madyopuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, menjadi pusat perhatian para peneliti dan peziarah. Di sanalah Makam Ki Ageng Gribig berdiri, tokoh yang selama ini dipercaya sebagai penyebar Islam di wilayah timur Jawa. Namun, siapa sebenarnya sosok yang dimakamkan di sana masih menyisakan banyak tanda tanya.
Inskripsi makam ki ageng gribig. (foto: sudutkota.id/mit)

Sudutkota.id– Kompleks makam kuno di Kelurahan Madyopuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, menjadi pusat perhatian para peneliti dan peziarah. Di sanalah Makam Ki Ageng Gribig berdiri, tokoh yang selama ini dipercaya sebagai penyebar Islam di wilayah timur Jawa. Namun, siapa sebenarnya sosok yang dimakamkan di sana masih menyisakan banyak tanda tanya.

Pertanyaan tentang asal-usul dan peran historis Ki Ageng Gribig menjadi fokus dalam diskusi bertajuk Sejarah dan Arkeologi Komplek Situs Makam Kuno di Kota Malang yang digelar pada Minggu (06/07). Dua narasumber utama hadir dalam forum tersebut, yakni Ismail Lutfi, peneliti historiografi Islam Nusantara, dan M. Satok Yusuf, arkeolog dari Universitas Indonesia.

Dalam diskusi, Ismail Lutfi menjelaskan bahwa nama Ki Ageng Gribig sering dikaitkan dengan tokoh keturunan Ki Ageng Pamanahan, pendiri Kesultanan Mataram Islam. Ia disebut sebagai buyut Panembahan Senapati dan dikenal dalam tradisi sebagai murid Sunan Kalijaga. Sosok ini juga lekat dengan tradisi Saparan Gribig di Jatinom, Klaten, yang hingga kini rutin digelar dengan pembagian kue apem sebagai simbol berkah spiritual.

Baca Juga :  Rumah Bela Vista, Jejak Arsitektur Kolonial dan Tapak Langkah Soekarno di Jantung Kota Malang

Namun, kesamaan nama dengan makam di Madyopuro menimbulkan dugaan lain. Apakah sosok ini memang orang yang sama, atau sekadar pengaruh dari jejaring murid-murid Mataram yang menyebar ke wilayah timur Jawa.

“Nama Gribig bisa jadi bukan nama tunggal, melainkan gelar spiritual atau penghormatan terhadap guru. Dalam tradisi Jawa, sangat umum murid mengambil nama atau gelar gurunya,” ujar Ismail Lutfi.

Sementara itu, M. Satok Yusuf memaparkan temuan arkeologis dari kawasan makam. Ia mengidentifikasi tiga jenis nisan yang menunjukkan lapisan sejarah panjang: nisan bergaya Troloyo dari masa Islam Majapahit, nisan batu andesit lokal tanpa inskripsi, serta nisan dengan tulisan Arab-Pegon yang berasal dari abad ke-18 hingga awal abad ke-20.

Salah satu temuan mencatat tanggal Kliwon, 6 November 1931, dengan stempel “Darmin Landbouwopzichter” yang menunjukkan keterkaitan dengan sistem administrasi pertanian Hindia Belanda.

“Ini bukan makam satu generasi. Ini kompleks makam keluarga besar atau bahkan komunitas tarekat yang berkembang lintas abad,” jelas Satok Yusuf, sambil menunjukkan dokumentasi nisan dan peninggalan papan nama yang sudah memudar.

Baca Juga :  Program 100 Hari Kerja, Wali Kota Batu Nurochman Prioritaskan Penanganan Sampah

Diskusi ini menekankan pentingnya membaca ulang situs-situs ziarah sebagai sumber sejarah, bukan hanya sebagai ruang spiritual. Para narasumber menyoroti kurangnya kajian akademik yang serius terhadap situs-situs keagamaan di wilayah timur Jawa, padahal jejak Islam tidak hanya berada di jalur Demak-Pajang-Mataram.

“Kalau kita ingin memahami sejarah Islam Jawa secara utuh, maka kita harus membuka mata terhadap jejak-jejak yang menyebar ke timur, termasuk wilayah Malang,” ujar Ismail Lutfi.

Kompleks Makam Ki Ageng Gribig tidak hanya hidup dalam mitos dan keyakinan warga. Setiap malam 1 Suro, ribuan peziarah datang mengikuti ritual tahlil massal dan doa bersama. Bagi masyarakat Madyopuro, situs ini adalah pusat spiritual dan bagian dari identitas kolektif kampung.

Namun bagi kalangan akademisi, tempat ini menyimpan potensi sebagai simpul sejarah yang mempertemukan warisan Majapahit, dakwah Mataraman, dan pengaruh kolonial Belanda.

“Warisan ini belum usai. Justru sekarang saatnya kita membacanya dengan kacamata yang lebih jernih dan interdisipliner,” pungkas Satok Yusuf. (mit)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *