Internasional

Krisis Tenaga Kerja, Jepang Dorong Ibu Rumah Tangga Kembali ke Dunia Kerja

21
×

Krisis Tenaga Kerja, Jepang Dorong Ibu Rumah Tangga Kembali ke Dunia Kerja

Share this article
Krisis Tenaga Kerja, Jepang Dorong Ibu Rumah Tangga Kembali ke Dunia Kerja
Ilustrasi krisis tenaga kerja di Jepang.

Sudutkota.id – Jepang sedang menghadapi krisis tenaga kerja yang serius. Jumlah pekerja terus menurun karena penduduknya makin tua dan angka kelahiran sangat rendah. Akibatnya, pemerintah mulai melirik kembali kelompok yang selama ini dianggap sebagai ‘penjaga rumah’ yaitu para ibu rumah tangga.

Selama puluhan tahun, Jepang punya aturan yang mendorong perempuan menikah untuk tidak bekerja penuh waktu. Salah satunya adalah dengan sistem tanggungan, yang membebaskan mereka dari iuran pensiun dan asuransi kesehatan jika penghasilan pasangan mereka di bawah 1,3 juta yen per tahun (sekitar Rp146 juta).

Sistem ini awalnya dibuat pada tahun 1986 saat ekonomi Jepang sedang booming. Tujuannya? Agar ibu rumah tangga bisa fokus mengurus rumah dan anak. Tapi sekarang, sistem ini dianggap sudah ketinggalan zaman dan malah menghambat perempuan yang ingin bekerja lebih banyak atau mengembangkan karier.

“Sistem lama ini membatasi perempuan untuk berkontribusi lebih di dunia kerja. Ini juga bikin upah sulit naik,” kata Nobuko Nagase, profesor dari Universitas Wanita Otsuma

Dikutip dari Reuters, Parlemen Jepang dijadwalkan mengesahkan undang-undang pada Jumat (13/06) mewajibkan pekerja paruh waktu untuk ikut membayar iuran pensiun dan asuransi kesehatan, terlepas dari berapa besar gaji mereka.

Baca Juga :  Raih Penghargaan, Kota Batu Masuk 10 Instansi Terbaik dari KPK

Kebijakan ini secara efektif mengurangi insentif yang sejak 1986 mendorong perempuan menikah untuk tetap berada di rumah demi mempertahankan status tanggungan.

Aturan ini berlaku untuk mereka yang bekerja lebih dari 20 jam per minggu. Sekitar 900 ribu perempuan diperkirakan akan terdampak langsung.

Sementara itu, kelompok bisnis dan buruh besar di Jepang juga mendukung perubahan ini. Mereka sudah lama meminta agar sistem tanggungan dihapus karena dianggap menciptakan ketimpangan dan menyulitkan perusahaan mencari pekerja paruh waktu.

Meski begitu, perubahan besar ini masih menghadapi tantangan. Banyak politisi konservatif masih ragu untuk menghapus sistem sepenuhnya. Perdana Menteri Shigeru Ishiba mengatakan, tidak semua orang yang masuk sistem tanggungan itu adalah ibu rumah tangga. Ada juga yang tak bisa bekerja karena sakit atau harus merawat keluarga.

“Ibu rumah tangga bukan berarti santai di rumah. Mereka punya tanggung jawab besar menjaga keluarga,” kata Ishiba di parlemen.

Di sisi lain, ada juga perempuan yang merasa aturan baru ini membingungkan. Maiko Takahashi, ibu tiga anak, mengatakan ia tetap memilih jadi tanggungan karena ingin punya waktu bersama keluarganya.

“Saya lebih baik kerja sebentar saja daripada harus bayar asuransi sendiri. Tapi saya juga heran, kenapa sistem ini malah menghalangi orang yang mau kerja lebih banyak?” ujarnya.

Baca Juga :  Deadlock, Paripurna Raperda PDRD Kota Malang Terganjal Kesepakatan Batas Omzet dan Kehadiran Anggota

Data pemerintah menunjukkan bahwa rumah tangga dengan dua penghasilan kini jauh lebih banyak dibandingkan yang hanya mengandalkan satu pencari nafkah. Tapi sistem sosial Jepang masih belum sepenuhnya menyesuaikan diri.

Kelompok buruh terbesar Jepang, Rengo, menyebut sistem ini menghambat karier perempuan dan memperbesar kesenjangan upah. Ketua Rengo, Tomoko Yoshino, mengatakan isu ini baru mulai dibahas serius karena dulu terlalu sedikit perempuan di posisi pengambil keputusan.

“Meskipun ada rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh para perempuan, sayangnya isu ini gagal mencapai tingkat pengambilan keputusan di kelompok untuk dibahas di masa lalu, sebagian karena sangat terbatasnya kehadiran perempuan di tingkat tersebut,” katanya.

Menurut Nagase, reformasi harus disertai dengan perubahan pola pikir para pengusaha yang masih memandang pekerja perempuan paruh waktu sebagai sumber tenaga kerja murah dan pelengkap bagi pekerja laki-laki. Upah untuk pekerja paruh waktu sangat rendah dibandingkan dengan pekerja tetap dan kesempatan untuk promosi terbatas.

“Kegagalan dalam memanfaatkan potensi penuh para pekerja tersebut akan menjadi kerugian bagi perekonomian Jepang karena kekurangan tenaga kerja semakin parah,” pungkasnya.(maz)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *