Daerah

Konflik Warga Joyogrand Vs PT Tomulen kembali Memanas, DPRD Kota Malang Turun Tangan

32
×

Konflik Warga Joyogrand Vs PT Tomulen kembali Memanas, DPRD Kota Malang Turun Tangan

Share this article
Konflik Warga Joyogrand Vs PT Tomulen kembali Memanas, DPRD Kota Malang Turun Tangan
Anggota Komisi C DPRD Kota Malang, Sony Rudiwiyanto, saat mengunjungi lokasi Perumahan Graha Agung.(foto:sudutkota.id/mit)

Sudutkota.id – Aroma konflik lama kembali tercium tajam dari Perumahan Joyogrand, Kelurahan Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Ini setelah tidak adanya kejelasan komitmen kompensasi dari PT Tomulen sebagai pengembang kepada warga.

Akibatnya, warga RW 8 dan 9 yang merasa dirugikan oleh pembangunan tahap dua Perumahan Graha Agung, makin kehilangan kesabaran. Komitmen pengembang PT Tomulen yang dinilai menggantung, membuat warga kembali angkat suara, bahkan siap ambil langkah ekstrem.

“Saya bukan anti pembangunan. Tapi jangan semena-mena. Kami punya hak untuk tahu, dan berhak mendapatkan kejelasan”, tegas Asrul, warga RW 8, saat ditemui di lokasi, Selasa siang (10/6/2025).

Asrul bahkan menyebut, jika tak ada penyelesaian dalam waktu dekat, warga siap memblokir jalan masuk menuju Graha Agung.

“Kami sudah kasih waktu cukup panjang. Kalau minggu depan belum juga ada kejelasan, akses bisa kami tutup”, ancamnya.

Masalah ini bukan baru kali pertama mencuat. Sejak Februari 2025, warga sudah menyuarakan protes atas proyek pembangunan Graha Agung tahap dua yang berada dalam kompleks Joyogrand.

Protes tersebut karena, pengembang disebut-sebut tidak menunaikan kewajiban kompensasi yang telah disepakati pada tahap pertama pembangunan.

Enam poin kompensasi disepakati kala itu, mulai dari pengaspalan jalan, revitalisasi taman, gapura, plengsengan, pembangunan TPS, hingga balai RT.

Namun, warga menyebut hanya empat yang benar-benar terealisasi, sementara dua sisanya, termasuk fasilitas vital masih tidak ada kejelasan.

Baca Juga :  Peringatan HUT RI ke-79, DPRD Kota Malang Ajak Seluruh Elemen Bangsa Bersatu

“Masih banyak yang abu-abu. Komunikasinya lemah, dan transparansi nyaris tidak ada,” ujar Handono, Wakil Ketua RW 9.

Ironisnya, di tengah tunggakan kompensasi tersebut, pembangunan tahap dua terus dikebut. Dari 64 unit yang direncanakan, 54 di antaranya telah berdiri. Sementara warga masih mempertanyakan komitmen pengembang yang sudah lama tapi belum juga terealisasi.

Tak hanya soal kompensasi fasilitas, warga juga menyoroti dampak lingkungan dari pembangunan. Menurut Asrul, saluran air dari tahap dua pembangunan justru membahayakan sumber mata air warga.

“Saluran dibuang ke bawah, dekat mata air yang biasa kami andalkan. Tapi enggak ada dokumen, enggak ada rapat. Cuma janji dan foto-foto,” keluhnya.

Warga khawatir, jika saluran ini tidak dikaji dengan benar, maka potensi banjir, longsor, hingga rusaknya ekosistem sekitar bisa menjadi risiko nyata.

Di bagian lain, pihak pengembang melalui kuasa hukumnya, Abdul Aziz, menegaskan bahwa mereka masih memegang dokumen sah terkait pembangunan dan kesepakatan dengan warga.

“Dokumen kami legal dan fit. Terkait aspirasi warga, kami terbuka, tapi harus sesuai hukum yang berlaku”, ujarnya.

Namun ketika ditanya soal Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU), Aziz menyebut bahwa dalam undang-undang sifat penyerahannya bersifat “dapat” bukan “wajib”.

“Jadi bisa iya, bisa tidak. Itu tergantung hasil kajian kami,” katanya.

Baca Juga :  BOSDA Kota Batu 2024 Segera Cair, Ada Penambahan Rp 5.000 Setiap Siswa

Pernyataan ini sontak membuat warga kian geram. “Kalau PSU dianggap bisa tidak diserahkan, siapa yang akan tanggung jawab kalau nanti taman rusak, atau lampu jalan mati”, balas Asrul.

Melihat eskalasi konflik, Komisi C DPRD Kota Malang langsung turun ke lapangan. Anggota Komisi C, Sony Rudiwiyanto, menyatakan bahwa kunjungan ke lokasi bukan sekadar simbolik.

“Kami ingin memastikan langsung persoalan di lapangan, agar bisa dicarikan solusi konkret. Ini bukan sekadar masalah lokal, tapi bisa jadi preseden buruk kalau dibiarkan,” ujarnya.

Menurut Sony, permasalahan serupa banyak terjadi di berbagai kawasan pengembangan perumahan di Kota Malang.

“Ini jadi alarm. Pengembang harus mulai sadar, bahwa membangun bukan sekadar menjual rumah, tapi juga membangun hubungan dan tanggung jawab sosial,” katanya tegas.

Tak berhenti di inspeksi lokasi, Komisi C juga merancang forum koordinasi besar yang akan melibatkan berbagai pihak.

“Mulai dari pengembang, OPD teknis seperti Dinas Perumahan, DLH, DPMPTSP, sampai pihak kelurahan dan kecamatan akan kami undang,” tambahnya.

Targetnya, forum digelar maksimal dua pekan ke depan, dengan harapan bisa menyentuh akar persoalan. Komisi C DPRD juga berharap forum koordinasi mendatang bisa menjadi titik terang.

“Ini soal akuntabilitas pembangunan, bukan sekadar kompensasi. Jangan sampai warga makin kehilangan kepercayaan pada sistem,” tutup Sony.(mit)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *