Sudutkota.id – Aroma dapur yang seharusnya menebar wangi lauk bergizi kini justru membawa bau amis politik. Di Kota Batu, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sejatinya lahir dari niat baik pemerintah pusat untuk menyehatkan pelajar, mulai kehilangan cita rasa kejujurannya.
Di balik panci-panci besar dan hidangan yang dikirim ke sekolah-sekolah, terselip kisah tentang kekuasaan, akses, dan kepentingan. Dugaan keterlibatan para elite politik dalam kepemilikan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat. Hal itu disampaikan oleh pemerhati kebijakan publik Kota Batu, Yani Andoko.
Sekarang, masalahnya bukan sekadar siapa yang memasak, tapi siapa yang menguasai dapur. Program MBG dirancang sebagai simbol kepedulian negara. Di Batu, dapur-dapur MBG menjadi tumpuan ratusan pelajar SD dan SMP untuk mendapatkan asupan bergizi setiap hari. Namun dalam perjalanannya, muncul aroma tak sedap bukan dari makanan basi, tapi dari dugaan penyimpangan yang lebih dalam.
Beberapa waktu lalu, belasan siswa di Batu dikabarkan mengalami gejala keracunan ringan usai menyantap makanan MBG. Meski kasus itu tak sebesar di daerah lain, sinyal lemahnya pengawasan menjadi nyata.
“Semua warga memang punya hak sama untuk menjadi mitra dapur MBG. Tapi kesetaraan semacam itu hanyalah ilusi dalam realitas politik lokal,” katanya, Kamis (16/10/2025).
Menurutnya, di balik jargon “partisipasi masyarakat”, justru terbuka peluang bagi mereka yang memiliki pengaruh politik untuk ikut menguasai dapur MBG.
“Mereka yang punya akses dan pengaruh tentu lebih mudah masuk, termasuk para anggota dewan,” ujarnya.
Yani menilai, posisi ganda anggota legislatif sebagai pengawas sekaligus pelaku usaha dalam program publik merupakan paradoks besar dalam tata kelola daerah.
“Bagaimana DPRD bisa bersikap objektif jika sebagian anggotanya justru diuntungkan dari program yang seharusnya mereka awasi?” katanya menegaskan.
Ia mengkritik mekanisme verifikasi mitra dapur oleh Badan Gizi Nasional (BGN) yang menggunakan sistem portal nasional. Menurutnya, sistem ini mudah dimanipulasi dan hanya menjadi topeng teknokratis yang memberi kesan profesional, padahal rawan disusupi kepentingan.
“Data bisa diatur, persyaratan bisa disunat, dan profesionalitas dijadikan jargon kosong,” ujarnya lantang.
Kota Batu, dengan ukuran yang kecil dan jejaring politik yang rapat, disebut sangat rawan terhadap praktik kolusi seperti ini. Dalam kota yang saling mengenal, batas antara pengusaha, pejabat, dan politisi menjadi kabur.
Sorotan terhadap MBG bukan hanya terjadi di Batu. Di berbagai daerah, isu serupa menyeruak, dugaan keterlibatan anggota DPR dan DPRD dalam bisnis dapur MBG menjadi rahasia umum.
Program ini sendiri merupakan janji besar Presiden Prabowo Subianto pada Pilpres 2024, dengan target 82,9 juta penerima manfaat secara nasional. Namun anggaran triliunan rupiah di balik program ini justru menjadikannya lahan subur bagi kepentingan politik.
Di Batu, sumber internal menyebutkan bahwa beberapa dapur mitra MBG memiliki keterkaitan dengan figur politik lokal dan anggota partai. Jika benar, hal itu bisa menjelaskan mengapa fungsi pengawasan DPRD terhadap pelaksanaan program terasa lemah tak ada desakan evaluasi, tak ada audit terbuka.
“Ketika pengawas justru ikut bermain di lapangan, publik kehilangan harapan akan adanya pengendalian. Ini bukan sekadar soal makanan, tapi soal moralitas kekuasaan,” katanya.
Batu dikenal sebagai kota wisata yang menonjolkan nilai budaya dan partisipasi warganya. Namun kasus dapur MBG ini bisa menjadi cermin, sejauh mana prinsip transparansi benar-benar dijalankan.
Yani mendorong agar Pemkot Batu bersama BGN membuka daftar dapur MBG secara publik, mulai dari nama pemilik, alamat, hingga hasil audit higienitasnya. Ia juga mengusulkan pembentukan komite pengawasan independen yang beranggotakan akademisi, tenaga gizi, tokoh masyarakat, dan jurnalis.
Komite tersebut diharapkan mampu memantau langsung dapur MBG di lapangan, menegakkan standar gizi, serta memastikan tak ada tumpang tindih kepentingan di balik program sosial yang menyentuh jutaan anak bangsa ini.
“Program MBG seharusnya menyehatkan generasi muda, bukan menyehatkan rekening elite. Kalau Batu ingin jadi contoh kota yang bersih dan transparan, inilah saatnya membuktikan,” tuturnya.




















