Sudutkota.id – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12/PUU-XXII/2024, menyatakan bahwa pelaksanaan pemilu untuk anggota DPR, DPD dan Presiden (pusat) dipisahkan dari pemilu untuk anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota (daerah) serta pemilihan kepala daerah (Pilkada). Putusan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemilu serta mengurangi kompleksitas pemilu serentak lima kotak.
Putusan ini akan menimbulkan dampak problem hukum. Diantaranya, dampak langsungnya adalah potensi perpanjangan Jabatan DPRD.
Konsekuensi langsung dari pemisahan ini adalah adanya ketidaksamaan siklus antara masa jabatan DPRD hasil Pemilu 2024 (yang semestinya berakhir tahun 2029) dengan jadwal pemilu legislatif daerah yang baru, misalnya jika dijadwalkan 2031 atau 2032. Maka, terjadi kekosongan legislatif daerah, kecuali jika masa jabatan DPRD diperpanjang.
Namun, perlu dikritisi dari perspektif konstitusi. Analisis konstitusional: Pasal 22E UUD 1945. Di Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan secara tegas, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.”
Artinya, mandat rakyat kepada DPRD hanya berlaku lima tahun, dan tidak ada dasar konstitusional yang memberi kewenangan bagi lembaga manapun, termasuk MK, untuk memperpanjang masa jabatan pejabat publik elektif. Kecuali melalui amandemen UUD atau perundang-undangan yang sah dan diuji secara konstitusional.
Perpanjangan jabatan DPRD selama 2 sampai 2,5 tahun berarti membiarkan lembaga legislatif daerah tanpa legitimasi elektoral yang baru. Dan itu berpotensi melanggar prinsip kedaulatan rakyat.
Kedaulatan Rakyat dan Legitimitas Representasi.
DPRD adalah lembaga perwakilan yang bersumber dari Pemilu. Jika masa jabatan diperpanjang, maka siapa yang memberi mandat baru? Rakyat tidak pernah memilih untuk periode lebih dari 5 tahun.
Atas dasar hukum apa perpanjangan dilakukan? Tidak ditemukan norma eksplisit dalam UU Pemilu, UU Pemerintahan Daerah, maupun UUD 1945.
Apakah mereka tetap disebut DPRD atau DPRD sementara? Tidak ada nomenklatur dalam hukum positif Indonesia mengenai DPRD “sementara” atau “perpanjangan”.
Jika menggunakan istilah “DPRD perpanjangan” atau “DPRD sementara,” maka harus ditegaskan pula batasan kewenangan dan status hukumnya. Namun dalam praktik hukum tata negara, istilah semacam ini belum dikenal dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Kemudian, terkait kewenangan DPRD yang Diperpanjang: Sama atau Dibatasi?
Jika DPRD diperpanjang, apakah tetap dapat mengesahkan Perda? Melakukan fungsi pengawasan, penganggaran, bahkan impeachment kepala daerah? Atau hanya bersifat administratif?
Jika kewenangannya tetap penuh, maka sangat berbahaya karena dijalankan oleh lembaga tanpa mandat elektoral yang sah. Jika dibatasi, maka terjadi kekosongan fungsi demokrasi legislatif.
Preseden dan Prinsip Demokrasi
Dalam sejarah Indonesia, belum pernah terjadi perpanjangan masa jabatan DPRD secara administratif tanpa pemilu. Bahkan dalam masa transisi 1998–1999 sekalipun, penyelenggaraan pemilu tetap dijadikan prioritas untuk mengembalikan legitimasi pemerintahan.
Secara prinsip demokrasi dan rule of law, jabatan publik yang bersumber dari pemilu tidak dapat diperpanjang melalui mekanisme administratif atau kebijakan teknis KPU. Harus ada dasar hukum yang kuat dan sejalan dengan konstitusi.
Pemisahan pemilu pusat dan daerah sebagaimana putusan MK berimplikasi langsung pada ketidaksesuaian siklus jabatan legislatif daerah (DPRD).
Perpanjangan masa jabatan DPRD bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang menetapkan siklus pemilu setiap lima tahun. Tidak ada dasar hukum eksplisit untuk memperpanjang jabatan DPRD tanpa pemilu.
Jika dipaksakan, perpanjangan jabatan DPRD berpotensi melanggar prinsip kedaulatan rakyat, mengaburkan legitimasi politik, dan menciptakan kekacauan tata kelola pemerintahan daerah.
Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR RI harus segera mengkaji ulang implikasi teknis dari putusan MK ini dan menyesuaikan peraturan perundang-undangan jika memang ingin memisahkan pemilu.
Jika pemisahan tetap dilakukan, maka harus disiapkan mekanisme alternatif yang tidak melanggar prinsip elektoral lima tahunan, misalnya melalui pemilu legislatif daerah terbatas.
Mahkamah Konstitusi perlu menjelaskan secara lebih rinci bagaimana teknis transisi kekuasaan legislatif daerah tanpa melanggar UUD 1945.
Malang, 3 Juli 2025
Penulis: Husnul Hakim Sy, MH
– Dekan FISIP UNIRA Malang