Pemerintahan

DPRD Kabupaten Malang Desak Evaluasi Izin Pengembang Terkait Konflik Akses Lahan di Perum BCT

13
×

DPRD Kabupaten Malang Desak Evaluasi Izin Pengembang Terkait Konflik Akses Lahan di Perum BCT

Share this article
DPRD Kabupaten Malang Desak Evaluasi Izin Pengembang Terkait Konflik Akses Lahan di Perum BCT
Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Malang, Tantri Bararoh, bersama anggota Komisi IV dan Pemerintah Desa Landungsari, melakukan peninjauan langsung ke lokasi, pada Kamis (2/10/2025).(foto:sudutkota.id/ist)

Sudutkota.id – Konflik puluhan tahun yang membelit akses lahan warga di kawasan Perumahan Bukit Cemara Tujuh (BCT), Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, menjadi sorotan tajam DPRD Kabupaten Malang.

Selain menyoroti nasib tiga pemilik lahan yang terisolasi akibat tertutupnya akses jalan, DPRD juga menilai kejadian ini sebagai bukti lemahnya pengawasan pemerintah terhadap tata ruang dan tanggung jawab sosial pengembang perumahan.

Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Malang, Tantri Bararoh, bersama anggota Komisi IV dan Pemerintah Desa Landungsari, melakukan peninjauan langsung ke lokasi pada Kamis (2/10/2025).

Dari hasil kunjungan tersebut, DPRD menemukan bahwa tidak hanya persoalan akses yang menjadi masalah utama, tetapi juga keterlambatan penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU) dari pihak pengembang kepada pemerintah daerah.

“Masalah seperti ini terus berulang karena tidak ada kepastian pengelolaan fasilitas umum. PSU yang belum diserahkan membuat warga tidak memiliki perlindungan kuat secara hukum,” tegas Tantri.

Dalam temuan dewan, pengembang berdalih bahwa jalan menuju lahan warga berada di luar site plan yang telah disetujui. Sementara warga menegaskan bahwa lahan mereka dulunya memiliki akses legal sebelum pembangunan perumahan dimulai.

Kebuntuan ini dinilai berbahaya karena memperlihatkan adanya potensi pelanggaran administratif, sekaligus minimnya pengawasan dari dinas terkait.

DPRD pun meminta Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Malang, untuk melakukan audit menyeluruh terhadap perizinan pengembang BCT, termasuk mencocokkan antara dokumen izin dan kondisi lapangan.

“Kalau ditemukan ketidaksesuaian, pemerintah wajib mengambil tindakan tegas. Jangan biarkan warga terus menjadi korban,” ujar Tantri.

Melihat situasi yang semakin rumit, DPRD berencana memfasilitasi mediasi terbuka antara warga, pengembang, dan pemerintah daerah. Langkah ini diharapkan mampu memunculkan solusi berkeadilan tanpa harus menempuh jalur hukum yang panjang.

Selain mediasi, DPRD juga menyarankan agar regulasi terkait tata ruang dan pengembangan perumahan ditinjau ulang, termasuk memperkuat peran pemerintah desa dalam pengawasan awal proyek perumahan.

“Desa sering kali tidak dilibatkan secara maksimal dalam proses pembangunan. Padahal mereka yang paling tahu kondisi sosial dan geografi wilayahnya,” tambah Tantri.

Salah satu pemilik lahan mengungkapkan, dirinya telah berjuang selama lebih dari 20 tahun agar bisa kembali mengakses tanah warisan keluarga yang kini tertutup oleh tembok perumahan.

“Kami tidak minta ganti rugi. Kami hanya ingin bisa ke tanah kami sendiri yang sah dan bersertifikat,” ujarnya dengan nada haru.

Kasus yang terjadi di Bukit Cemara Tujuh ini menjadi pengingat penting bahwa pembangunan perumahan bukan sekadar soal beton dan bangunan, tetapi juga menyangkut keadilan akses dan hak ruang masyarakat.

Pemerintah daerah diminta tak hanya bertindak setelah konflik mencuat, melainkan harus aktif sejak tahap perencanaan, memastikan pengembang menjalankan tanggung jawab sosialnya.(ADV)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *