Daerah

Di Tengah Sengketa Hukum, Tembok Griya Shanta Dirobohkan

45
×

Di Tengah Sengketa Hukum, Tembok Griya Shanta Dirobohkan

Share this article
Sekelompok massa yang melakukan pembongkaran tembok pembatas Perumahan Griya Shanta, Kelurahan Mojolanggu, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. (Foto: Ist)

Sudutkota.id – Konflik pembongkaran tembok pembatas Perumahan Griya Shanta, Kelurahan Mojolangu, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, kian memanas. Aksi perobohan tembok yang terjadi pada Kamis (18/12/2025) siang tak hanya memicu ketegangan di lapangan, tetapi juga membuka potensi persoalan pidana di tengah sengketa hukum yang masih bergulir.

Lumbung Informasi Rakyat (LiRA) Jawa Timur menilai pembongkaran tersebut tidak dapat dipandang sebagai persoalan biasa. Pasalnya, tindakan perobohan dilakukan oleh pihak di luar pemerintah dan tanpa kejelasan dasar hukum maupun kewenangan resmi.

Gubernur LiRA Jawa Timur, Zuhdy Achmadi atau akrab disapa Didik, menegaskan bahwa persoalan utama bukan sekadar konflik akses jalan, melainkan menyangkut kewenangan negara dan tata kelola aset daerah.

“Negara ini punya aturan. Kalau ada bangunan yang dianggap bermasalah, mekanismenya jelas: ada penetapan, ada surat perintah, dan dilakukan oleh aparat yang berwenang. Bukan oleh sekelompok orang, siapa pun itu, dengan dalih kepentingan publik,” tegas Didik saat dikonfirmasi Sudutkota.id, Sabtu (20/12/2025).

Menurutnya, kunci persoalan berada pada status prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) di kawasan Griya Shanta. Apabila PSU tersebut telah diserahkan oleh pengembang kepada Pemerintah Kota Malang, maka secara hukum telah menjadi Barang Milik Daerah (BMD).

“Kalau jalannya sudah masuk PSU dan sudah diserahkan, itu artinya aset Pemkot Malang. Konsekuensinya, tidak ada satu pun pihak di luar pemerintah yang boleh melakukan pembongkaran atau perubahan tanpa izin resmi,” jelasnya.

Didik juga menanggapi klaim bahwa tembok yang dibongkar merupakan milik warga. Menurutnya, klaim kepemilikan bangunan tidak bisa dilepaskan dari status lahan tempat bangunan itu berdiri.

“Sekalipun tembok itu dibangun oleh warga, kalau berdiri di atas badan jalan atau lahan berstatus aset Pemkot, maka tetap berada dalam kewenangan negara. Tidak boleh dibongkar sembarangan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Didik mengingatkan bahwa pembongkaran tanpa hak dan kewenangan resmi, terlebih dilakukan secara bersama-sama, berpotensi memenuhi unsur pidana.

“Kalau dilakukan ramai-ramai tanpa dasar hukum yang sah, itu bisa masuk Pasal 170 KUHP tentang perusakan secara bersama-sama. Ini bukan tuduhan, tapi konsekuensi hukum yang harus dipahami semua pihak,” katanya.

LiRA Jatim juga menyoroti isu pembukaan jalan tembus yang kerap dijadikan alasan pembongkaran tembok. Didik menegaskan bahwa arah dan fungsi jalan tembus telah diatur dalam peraturan daerah (Perda) pada masa Wali Kota Malang Sutiaji.

“Dalam Perdanya jelas, jalan tembus itu menuju Jalan Candi Panggung, bukan Simpang Candi Panggung. Kalau sekarang ada tafsir lain, itu harus dibuka secara transparan dan dikoreksi lewat jalur hukum, bukan dipaksakan di lapangan,” tegasnya.

Menurut Didik, jika pembongkaran benar-benar dilakukan atas nama kepentingan umum, maka negara seharusnya hadir secara utuh melalui mekanisme resmi dan transparan.

“Kalau alasannya kepentingan publik, negara harus hadir. Jangan justru membiarkan tindakan di luar sistem hukum yang berpotensi memicu konflik horizontal di masyarakat,” ujarnya.

Atas dasar itu, LiRA Jawa Timur mendesak Pemerintah Kota Malang untuk segera memberikan kejelasan status hukum PSU di kawasan Griya Shanta sekaligus bersikap tegas terhadap pihak-pihak yang melakukan pembongkaran tanpa kewenangan.

“Pemkot tidak boleh ragu. Kalau ini aset daerah, lindungi. Kalau ada pelanggaran, proses secara hukum. Ini menyangkut wibawa pemerintah dan kepastian hukum bagi masyarakat,” pungkas Didik.

Sementara itu, Aliansi Pro Publik (APP) secara terbuka menyatakan bertanggung jawab penuh atas aksi pembongkaran tembok di kawasan Griya Shanta. Aksi tersebut diklaim sebagai bentuk perlawanan terhadap penutupan akses publik di tengah sengketa hukum yang masih berjalan di Pengadilan Negeri Kota Malang.

Koordinator APP, Ardany Malikal Fauzan, membenarkan bahwa pembongkaran dilakukan oleh kelompoknya. Ia menilai pembangunan tembok baru oleh warga RW 12 dilakukan secara sepihak meski perkara belum berkekuatan hukum tetap.

“Proses hukum masih berjalan, tapi tembok justru dibangun ulang. Ini bentuk pengabaian terhadap kepentingan publik,” tegas Ardany.

Menurut APP, keberadaan tembok selama ini dinilai memperparah kemacetan lalu lintas di Kota Malang. Pasca pembongkaran, massa mendesak Pemkot Malang agar tidak membiarkan tembok kembali dibangun tanpa kejelasan hukum.

Di sisi lain, kuasa hukum warga RW 12 Griya Shanta, Andi Rachmanto, SH, mengecam keras aksi pembongkaran yang ia sebut sebagai tindakan main hakim sendiri dan mengangkangi proses hukum.

“Pemkot dan Satpol PP saja menghormati proses hukum. Tapi ini justru ada kelompok yang entah dari mana datang melakukan pembongkaran, bahkan menggunakan alat berat. Ini sangat kami sesalkan,” ujar Andi.

Ia mengungkapkan bahwa warga telah melaporkan peristiwa tersebut secara resmi ke Polresta Malang Kota.

“Peristiwa ini sudah kami laporkan secara resmi. Selain gugatan perdata class action, laporan pidana ini kami tempuh demi keadilan dan kepastian hukum,” tambahnya.

Menurut Andi, aksi tersebut berdampak serius terhadap rasa aman warga.

“Warga merasa terintimidasi. Ibu-ibu dan anak-anak mempertanyakan keamanan lingkungan mereka. Ini bukan hanya soal tembok, tapi soal marwah dan wibawa hukum di Kota Malang,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *