Sudutkota.id – Kebijakan Presiden Prabowo untuk memberikan Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi siswa seluruh Indonesia merupakan niat yang mulia. Program ini (MBG) dilaksanakan oleh pemerintah melalui Badan Gizi Nasional dan kemudian bermitra dengan SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi).
Program ini ditujukan untuk memastikan setiap anak Indonesia yang masih dalam usia sekolah mendapatkan gizi seimbang untuk tumbuh sehat, cerdas, dan produktif.
Namun demikian, di balik idealisme program dan kebijakan pemerintah ini, memunculkan tantangan besar dalam hal tatakelola implementasinya mulai dari pengelolaan, higienitas, dan akuntabilitas distribusi makanan, serta kecukupan gizi yang dilaksanakan oleh mitra nya yang bernama SPPG atau dapur MBG.
Salah satu kasus terbaru yang menggemparkan publik adalah keracunan massal siswa di MTs Al-Kholifah Cepokomulyo, Kepanjen, Kabupaten Malang, yang diduga berasal dari makanan MBG. Kasus seperti ini bukan yang pertama, dan bisa jadi bukan yang terakhir, jika tata kelola penyajian MBG masih terpusat di tangan segelintir pengusaha besar dengan sistem dapur masak berskala ribuan porsi per hari.
Masalah Dapur Sentral: Skala Besar, Risiko Besar
Model dapur sentral (central kitchen) yang kini banyak diterapkan dalam program MBG di beberapa daerah mungkin efisien secara logistik, namun menyimpan risiko besar terhadap kualitas dan keamanan makanan.
Dapur-dapur MBG saat ini melayani hingga 3.000–3.500 porsi per hari, dengan tekanan waktu tinggi dan sumber daya manusia yang terbatas. Dalam kondisi seperti ini, menjaga standar kebersihan, ketepatan waktu, dan suhu penyajian menjadi tantangan serius.
Lebih parah lagi, praktik mengemas makanan dalam kondisi masih panas ke dalam wadah tertutup (ompreng) dapat menimbulkan reaksi kimia yang berbahaya. Saat makanan panas disegel rapat, uap air yang terperangkap menciptakan lingkungan lembap dan anaerob, kondisi ideal bagi bakteri penyebab keracunan makanan untuk berkembang. Akibatnya, makanan yang niatnya menyehatkan justru berubah menjadi ancaman bagi kesehatan siswa.
Belajar dari “Kitchen School”: Konsep yang Lebih Manusiawi
Sudah saatnya kita meninjau ulang model pengelolaan MBG. Salah satu solusi yang realistis, aman, dan edukatif adalah mengubah sistem MBG menjadi “Kitchen School”, yaitu dapur sekolah yang dikelola langsung oleh pihak sekolah dengan melibatkan guru, siswa, dan orang tua.
Konsep ini bukan hal baru. Beberapa sekolah swasta di Indonesia telah mempraktikkannya dengan hasil menggembirakan. Misalnya, di beberapa sekolah berbasis pesantren dan yayasan pendidikan modern, setiap sekolah memiliki dapur mini sendiri yang menyajikan makanan langsung dari bahan segar lokal.
Makanan disiapkan di pagi hari oleh tenaga masak dari lingkungan sekitar sekolah, bukan dari dapur besar yang jaraknya belasan kilometer.
Hasilnya? Makanan lebih segar, higienis, dan sesuai selera lokal. Anak-anak makan dengan tenang karena melihat langsung proses masaknya. Guru dan orang tua pun bisa ikut mengawasi, bahkan berpartisipasi dalam penyediaan bahan atau pengawasan gizi.
Best Practice dari China dan Sekolah Swasta Dunia
Model “Kitchen School” juga telah diterapkan di beberapa negara, salah satunya Tiongkok (China). Dalam program Healthy School Lunch Initiative yang dikelola oleh pemerintah lokal di beberapa provinsi, setiap sekolah diwajibkan memiliki dapur mini dengan standar kebersihan tertentu.
Pemerintah hanya menyediakan subsidi bahan baku dan standar gizi, sedangkan proses masak dilakukan di sekolah masing-masing dengan pengawasan langsung guru dan komite orang tua.
Pendekatan ini membuat rantai distribusi makanan pendek dan transparan. Kualitas lebih terjamin, dan partisipasi masyarakat meningkat. Sekolah tidak sekadar menerima makanan, tapi menjadi bagian dari sistem gizi nasional yang aktif dan bertanggung jawab.
Kelebihan Model Dapur Sekolah ini makanan yang dihasilkan akan Lebih Segar dan Higienis, Makanan dimasak pagi hari dan langsung disajikan ke siswa tanpa proses distribusi panjang. Risiko kontaminasi menurun drastis.
Pengawasan lebih mudah yang dilakukan oleh guru, orang tua, dan masyarakat sekitar, mereka dapat ikut mengawasi langsung proses memasak. Transparansi meningkat, potensi penyimpangan berkurang.
Pemberdayaan Ekonomi Lokal
Warung-warung, petani, dan penjual sayur di sekitar sekolah bisa menjadi pemasok bahan baku harian. Uang berputar di ekonomi desa, bukan terserap ke pengusaha besar atau suplier kota.
Pendidikan Karakter dan Gizi
Siswa bisa belajar tentang gizi, kebersihan, dan gotong royong dalam penyediaan makanan. Dapur sekolah bukan hanya tempat masak, tapi juga sarana edukasi.
Melalui dapur sekolah ini, akan mewujudkan keadilan dan kemandirian sosial, dapur sekolah mendorong kemandirian dan partisipasi masyarakat, bukan sekadar menjadi objek kebijakan top-down. Prinsip “dari sekolah, untuk anak sekolah” benar-benar terwujud.
Menimbang Regulasi dan Keterlibatan Publik
Secara regulasi, kebijakan MBG dapat dijalankan dengan model desentralisasi dapur sekolah. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan keluarga.
Sementara itu, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga membuka ruang partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik, termasuk bidang pendidikan dan kesehatan anak sekolah.
Maka, mengelola MBG melalui dapur sekolah adalah implementasi nyata prinsip partisipatif dan desentralisasi pelayanan publik. Pemerintah daerah bisa menjadi regulator dan pengawas, sementara sekolah dan masyarakat menjadi pelaksana utama di lapangan.
Mengembalikan Kepercayaan Publik
Kasus keracunan siswa MTs Al-Kholifah Kepanjen Kabupaten Malang harus menjadi pelajaran penting. Masyarakat kini mulai ragu terhadap pengelolaan MBG berbasis dapur besar yang eksklusif, tertutup, dan tidak bisa diawasi publik. Jika kepercayaan ini tidak segera dipulihkan, program MBG bisa kehilangan legitimasi sosialnya.
Karena itu, membuka dapur di sekolah bukan sekadar solusi teknis, tapi langkah moral. Dapur sekolah adalah simbol transparansi, tanggung jawab sosial, dan kedekatan antara negara dan rakyatnya.
Makanan Sehat, Kebijakan Sehat
Kebijakan publik yang baik tidak hanya diukur dari niat mulia, tapi dari sejauh mana kebijakan itu menjamin keselamatan dan kepercayaan publik. Program MBG harus menjadi simbol gotong royong, bukan proyek besar yang menjauh dari rakyat.
Sudah saatnya kita berani mengubah arah: Dari dapur besar yang eksklusif menuju dapur sekolah yang partisipatif. Dari makanan yang hanya kenyang menjadi makanan yang menumbuhkan kepercayaan. Karena anak-anak kita berhak mendapatkan makanan bergizi dan masyarakat berhak mengawasi bagaimana gizi itu disajikan.
Malang, 24 Oktober 2025
Oleh: Husnul Hakim SY, MH
Dekan FISIP UNIRA Malang
Pemerhati Kebijakan Publik



















