Sudutkota.id – Semangat solidaritas lintas daerah yang ditunjukkan relawan asal Malang Raya untuk membantu korban bencana di Aceh dan Sumatera harus menghadapi tantangan serius di lapangan.
Sejumlah bantuan kemanusiaan dilaporkan tertahan di Sumatera Utara akibat persoalan distribusi dan koordinasi antar lembaga.
Bencana alam yang melanda wilayah Aceh dan beberapa daerah di Sumatera pada akhir 2025 memicu gelombang kepedulian dari berbagai komunitas di Indonesia.
Salah satunya datang dari Relawan Malang Bersatu bersama Gimbal Alas Indonesia, yang bergerak cepat sejak hari pertama bencana terjadi.
Selain menyalurkan bantuan logistik, tim relawan juga melakukan pemetaan wilayah terdampak serta mitigasi awal. Langkah cepat tersebut disebut bukan kali pertama dilakukan oleh komunitas Gimbal Alas dalam merespons situasi darurat kebencanaan.
“Kami sudah terbiasa terlibat dalam penanganan bencana. Begitu ada informasi, kami langsung bergerak,” ujar Anto Baret, tokoh Gimbal Alas Indonesia yang juga dikenal sebagai seniman dan budayawan nasional.
Dukungan publik terhadap aksi kemanusiaan ini terbilang besar. Melalui kegiatan bertajuk Sound of Humanity yang digelar di SM Boomi Carnival, Malang, pada 19 Desember 2025, relawan berhasil menggalang dana sekitar Rp100 Juta hanya dalam waktu lima jam.
Dana tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk bantuan logistik yang dikemas ke dalam lima kontainer, masing-masing diberangkatkan melalui jalur laut. Tiga kontainer dikirim menggunakan jasa pelayaran swasta, sementara dua lainnya menggunakan kapal PT Pelni (BUMN).
Tiga kontainer pertama dilaporkan tiba di lokasi tujuan dan langsung didistribusikan kepada warga terdampak. Namun, dua kontainer lainnya justru mengalami kendala setelah tiba di Medan.
Masalah muncul ketika dua kontainer bantuan yang dikirim melalui Pelni tidak langsung diteruskan ke wilayah sasaran, melainkan dialihkan ke gudang BPBD Provinsi Sumatera Utara.
Relawan mengaku tidak mendapatkan pemberitahuan sebelumnya terkait perubahan jalur distribusi tersebut.
Lebih lanjut, pihak relawan menyebutkan adanya permintaan biaya transportasi tambahan sebesar Rp2,4 Juta untuk pengambilan kontainer dari lokasi penyimpanan baru, menyusul pemindahan dari Pelabuhan Belawan ke gudang BPBD Sumut. Informasi ini sebelumnya juga ramai diperbincangkan di media sosial.
Kondisi tersebut memicu kritik dari masyarakat, khususnya di Jawa Timur dan Malang Raya, yang menilai proses birokrasi distribusi bantuan masih belum berpihak pada kecepatan penanganan bencana.
“Seharusnya bantuan kemanusiaan tidak dipersulit oleh urusan administratif. Dalam kondisi darurat, yang dibutuhkan adalah kecepatan dan empati,” ujar Indranesia, mantan jurnalis dan aktivis di Malang.
Perwakilan relawan juga menyampaikan keberatan terkait pembukaan kontainer bantuan di gudang BPBD Sumut. Menurut mereka, kontainer tersebut masih dalam kondisi tersegel resmi dan kunci berada di tangan relawan pengirim.
“Dua kontainer itu sudah dibuka di gudang BPBD Sumut, padahal segel dan kunci kontainer masih kami pegang,” kata Sahlan Junaedi, relawan Gimbal Alas Indonesia, seraya menunjukkan dokumentasi video kondisi bantuan yang telah ditata ulang.
Hingga berita ini diturunkan, para relawan berharap seluruh bantuan yang tertahan dapat segera disalurkan kepada korban bencana tanpa hambatan tambahan, demi memastikan hak-hak dasar penyintas tetap terpenuhi.




















