Featured

Alun-Alun Tugu Malang: Dari Simbol Perlawanan Kolonial hingga Ruang Publik Kebanggaan Kota

620
×

Alun-Alun Tugu Malang: Dari Simbol Perlawanan Kolonial hingga Ruang Publik Kebanggaan Kota

Share this article
Alun-Alun Tugu Malang: Dari Simbol Perlawanan Kolonial hingga Ruang Publik Kebanggaan Kota
Alun-Alun Tugu Kota Malang.(foto:sudutkota.id/mit)

Sudutkota.id – Di jantung Kota Malang, tepat di depan Balai Kota, berdiri sebuah monumen dengan bentuk ramping menjulang, berujung emas, dan dikelilingi kolam teratai. Itulah Alun-Alun Tugu, ruang terbuka hijau sekaligus simbol sejarah yang tak lekang oleh waktu.

Alun-Alun Tugu lebih dari sekadar taman kota. Kawasan ini menyimpan jejak panjang perlawanan terhadap penjajah, kemerdekaan dan perkembangan tata ruang Malang dari masa ke masa.

Bangunan tugu yang kita lihat hari ini, merupakan hasil pembangunan kembali pada awal 1950-an. Sebelumnya, di tempat yang sama, berdiri tugu yang dibangun pada masa kolonial Belanda. Namun, tugu itu diruntuhkan rakyat Malang pada 17 Agustus 1946, sebagai bentuk simbolik perlawanan terhadap penjajahan, tak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.

“Tugu yang sekarang dibangun ulang di era Presiden Soekarno dengan semangat nasionalisme yang sangat kental. Bentuknya pun mencerminkan filosofi kemerdekaan, ujung emas sebagai cita-cita tinggi bangsa, dan kolam berbentuk bunga teratai yang melambangkan kesucian di tengah kekeruhan zaman kolonial,” ujar Dwi Cahyono, sejarawan dan budayawan Malang, kepada sudutkota.id.

Baca Juga :  Dari karyawan Fotokopi ke Ahli Permata: Perjalanan Inspiratif Anton Y Gemstone

Menurut Dwi, kawasan ini sejak awal dirancang sebagai pusat tata kota bergaya kolonial yang rapi, dengan konsep as simetrical axis antara Balaikota, Alun-Alun Tugu, dan bangunan penting lain di sekitarnya.

Dalam lanskap urban masa Hindia Belanda, alun-alun ini dinamakan “Alun-Alun Bunder” karena bentuknya yang melingkar. Penataan taman bergaya Eropa berpadu dengan elemen tropis yang disesuaikan dengan iklim setempat.

Kini, Alun-Alun Tugu tak hanya menjadi ikon arsitektur dan sejarah, tetapi juga ruang publik yang hidup. Setiap pagi dan sore, warga berkumpul untuk berolahraga, bersantai, atau sekadar berfoto di dekat air mancur yang rutin menyala. Taman ini juga menjadi lokasi favorit untuk upacara, penyambutan tamu negara, hingga syuting film dan video musik.

Marga wartawan senior Malang Pisco media , yang rutin jogging di sana, mengaku bangga punya ruang kota seindah dan seterkenal Alun-Alun Tugu. “Ini bukan cuma taman, ini wajah Kota Malang. Kalau tamu datang, pasti diajak ke sini dulu,” katanya.

Baca Juga :  Bocah 10 Tahun Asal Singosari Curi Perhatian di Kapolresta Cup Sepak Bola Amputasi

Pemerintah Kota Malang sendiri terus menjaga kawasan ini melalui penataan taman dan pencahayaan, serta pengaturan lalu lintas di sekitarnya agar tetap nyaman bagi pejalan kaki. Terlebih dalam momentum perayaan Hari Jadi Kota Malang ke-111 pada tahun 2025, alun-alun ini kembali dihias dengan umbul-umbul dan lampu hias yang menambah semarak suasana malam.

Dwi Cahyono menambahkan, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk menjaga tidak hanya keindahan fisiknya, tapi juga nilai sejarahnya. “Tugu itu bukan hanya monumen mati, tapi saksi hidup. Menjaganya berarti merawat memori kolektif kita sebagai bangsa,” tandasnya.

Dengan sejarah panjang dan keindahan yang terus dijaga, Alun-Alun Tugu tetap menjadi penanda penting: bahwa di tengah laju modernisasi, ada ruang yang tetap kokoh menyimpan identitas dan ingatan kota.(mit)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *