Sudutkota.id – Dalam situasi di mana anak-anak semakin terpapar risiko dunia maya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) RI mulai bergerak lebih agresif. Salah satunya melalui sosialisasi PP Tunas (Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak) yang digelar di Ponpes Bahrul Maghfiroh, Kota Malang, Selasa (18/11/2025).
Acara yang diikuti sekitar 400 santri ini menjadi bentuk hadirnya negara di tengah derasnya arus digital yang kian sulit dibendung. Bahkan, pemerintah menilai lembaga pendidikan berbasis pesantren merupakan benteng strategis untuk mendampingi generasi muda di era internet tak terbatas.
Dalam sambutannya, Pengasuh Ponpes Bahrul Maghfiroh, Prof. Mohammad Bisri, menyampaikan pandangan yang cukup kritis terhadap kondisi digital saat ini. Menurutnya, banyak anak memahami teknologi, namun belum tentu memahami risikonya.
“Kebijakan digital tidak boleh berhenti di atas kertas. Anak-anak harus benar-benar mengerti apa yang boleh dan tidak boleh diakses,” tegas Prof. Bisri.
Ia menyatakan pesantren akan terus mendukung regulasi pemerintah, namun dengan catatan: pelaksanaannya harus konkret, berkesinambungan, dan tidak hanya muncul saat ramai pemberitaan.
Mewakili Menteri Komdigi Mauthia, Fifi Alayda Yahya menegaskan bahwa pemerintah tidak lagi menutup mata terhadap meningkatnya ancaman digital bagi anak. Mulai dari kekerasan virtual, kecanduan internet, manipulasi data, hingga paparan konten ekstrem yang berkembang tanpa filter.
“PP Tunas hadir untuk menegakkan garis tegas: akses digital anak harus menyesuaikan usia dan risiko platform. Tanpa ini, kita sedang mempertaruhkan masa depan generasi,” ujar Fifi.
Ia juga menyinggung bahwa banyak platform besar masih lalai dalam menjalankan standar perlindungan anak, sehingga pemerintah perlu hadir lebih keras dan lebih disiplin dalam pengawasan.
Narasumber Komdigi, Annisa Pratiwi Iskandar, mengupas PP Tunas secara detail dan tanpa tedeng aling-aling. Ada beberapa poin penting yang menjadi sorotan kritis:
Platform dilarang melakukan profiling data anak, termasuk untuk kepentingan iklan.
Akses harus berbasis usia, bukan sekadar centang persetujuan di aplikasi.
Platform berkategori risiko tinggi harus mendapat persetujuan orang tua.
Ada sanksi tegas, termasuk pembatasan layanan, jika platform melanggar.
Kewajiban literasi digital, bukan hanya untuk anak, tetapi juga orang tua dan pendidik.
Annisa menegaskan bahwa selama ini anak-anak dibiarkan berhadapan dengan internet yang terlalu longgar, sehingga PP Tunas menjadi intervensi negara yang sudah lama ditunggu.
“Jika aturan ini tidak ditegakkan, maka semua edukasi hanya akan menjadi slogan. Karena itu PP Tunas berlaku wajib, bukan opsional,” ujarnya.
Sekretaris Umum Pemkot Malang, M. Syailendra, menyampaikan apresiasi, namun juga memberi catatan bahwa literasi digital di tingkat masyarakat masih sangat timpang.
.
“Di sekolah kota mungkin lebih siap, tapi di lapangan masih banyak anak yang tersesat di ruang digital tanpa pendampingan. Jadi kegiatan seperti ini harus menjadi gerakan besar, bukan hanya seremoni,” tegas Syailendra.
Ia menilai kehadiran Komdigi di pesantren adalah langkah penting, namun harus diikuti monitoring rutin dan penerapan aturan di semua sekolah dan platform.
Dalam rangkaian kegiatan, rombongan Komdigi juga meninjau Studio Live Ponpes, tempat para santri belajar praktik digital dan teknologi. Para peserta mencoba perangkat komputer, mengenal platform aman, dan mendapatkan arahan langsung dari tim Komdigi.




















