Sudutkota.id – Gelombang putih membanjiri halaman Mapolres Malang, pada Jumat (17/10/2025), siang dalam sebuah aksi damai bertajuk Jumat Putih: Bela Kiai dan Pesantren.
Aksi ini menjadi sorotan publik karena melibatkan lebih dari 3.000 massa dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU), santri, dan berbagai organisasi keislaman di Kabupaten Malang yang menyerukan pentingnya etika media dalam menjaga kehormatan simbol keagamaan.
Dipimpin langsung oleh Ketua PCNU Kabupaten Malang, KH. Hamim Kholili, para peserta menyuarakan protes terhadap salah satu tayangan di kanal televisi nasional Trans7 yang dianggap menyinggung marwah pesantren dan kiai.
“Ini bukan soal tersinggung atau tidak, tapi soal menjaga nilai-nilai yang telah menjadi fondasi moral bangsa,” tegas KH. Hamim di hadapan ribuan peserta aksi yang memadati area aksi.
Aksi berlangsung damai dan tertib, dikawal ketat aparat kepolisian. Peserta mengenakan pakaian serba putih, melambangkan kesucian niat dan solidaritas moral, seraya membawa spanduk dengan berbagai pesan kuat seperti, “Santri Bukan Budak, Tapi Pejuang Ilmu”, “Kiai Adalah Penjaga Moral Bangsa”, “Pesantren Bukan Warisan Feodal, Tapi Pusat Peradaban Islam Nusantara”.
Mereka juga melantunkan sholawat dan doa bersama sebagai bagian dari bentuk protes spiritual dan budaya yang menjadi ciri khas tradisi Nahdliyin.
Puncak aksi ditandai dengan pembacaan pernyataan sikap resmi PCNU Kabupaten Malang yang berisi lima poin tuntutan, antara lain:
Mengutuk keras isi tayangan Trans7 yang dianggap melecehkan martabat pesantren.
Mendesak permintaan maaf terbuka dari pihak stasiun televisi tersebut.
Mendorong Dewan Pers dan KPI untuk mengevaluasi dan memberi sanksi sesuai etika jurnalistik.
Meminta aparat penegak hukum memproses dugaan pelanggaran hukum atas tayangan tersebut.
Menegaskan kembali peran pesantren sebagai garda moral bangsa dan pelindung nilai-nilai Islam moderat.
KH. Hamim juga mengkritik narasi publik yang kerap menyalahartikan tradisi pesantren, seperti sikap hormat santri kepada kiai, sebagai bentuk feodalisme.
“Mencium tangan kiai bukan simbol perbudakan, melainkan manifestasi adab dan cinta terhadap ilmu. Kalau itu dianggap kuno, maka yang perlu dikaji ulang adalah cara berpikir kita tentang akar kebudayaan bangsa,” ujarnya lantang.
Menutup aksi, PCNU Kabupaten Malang menyerahkan laporan resmi ke Mapolres Malang, mengacu pada Pasal 156a KUHP dan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
KH. Hamim pun mengajak seluruh masyarakat untuk menjadikan insiden ini sebagai momentum refleksi:
“Kami tidak anti kritik, tapi mari kita bedakan antara kritik konstruktif dengan penghinaan. Bangsa ini besar karena warisan nilai, bukan semata teknologi dan hiburan.”
Aksi ditutup dengan doa dan Sholawat Nariyah yang menggema dari ribuan suara, mengirimkan pesan kuat bahwa perjuangan membela martabat pesantren tidak dilakukan dengan amarah, tapi melalui jalur hukum dan etika moral.