Featured

Kereta Masih Lewat, Sejarah Masih Hidup: Potret Jembatan Buk Gluduk Kota Malang

179
×

Kereta Masih Lewat, Sejarah Masih Hidup: Potret Jembatan Buk Gluduk Kota Malang

Share this article
Kereta Masih Lewat, Sejarah Masih Hidup: Potret Jembatan Buk Gluduk Kota Malang
Buk Gluduk, sebuah nama khas yang lahir dari suara gemuruh yang ditimbulkan kereta api saat melintas di atasnya.(foto:sudutkota.id/mit)

Sudutkota.id – Di tengah hiruk-pikuk Kota Malang, sebuah jembatan besi tua masih berdiri tegak, menyeberangi ruas jalan yang selalu ramai kendaraan. Warga menyebutnya “Buk Gluduk”, sebuah nama khas yang lahir dari suara gemuruh yang ditimbulkan kereta api saat melintas di atasnya.

Jembatan ini bukan sekadar penghubung rel, melainkan saksi bisu perjalanan panjang kota yang dulunya dikenal sebagai kota kolonial berhawa sejuk.

Terletak tak jauh dari Stasiun Kota Baru Malang, Jembatan Buk Gluduk menjadi ikon tidak resmi yang melekat dalam ingatan kolektif warga.

Struktur baja tua dengan cat yang mulai pudar, penyangga beton yang penuh coretan, serta instalasi kabel dan reklame yang menyelimutinya, menjadi wajah jujur dari kawasan yang berfungsi sekaligus bernostalgia.

Jembatan Buk Gluduk dibangun pada era Hindia Belanda, beriringan dengan pengoperasian jalur kereta api Surabaya–Malang pada tahun 1879. Pada masa itu, rel ini menjadi jalur vital yang menghubungkan sentra ekonomi dan perkebunan Malang Raya dengan pelabuhan ekspor di Surabaya.

Konstruksi jembatan memakai baja dengan sistem rangka kuda-kuda, ditopang oleh beton tebal di kedua sisinya, model khas jembatan rel kolonial yang tahan uji waktu.

Baca Juga :  Polres Malang Ungkap 6 Kasus Curanmor, Salah Satu Korbannya Gadis Michat

Saat pendudukan Jepang, jembatan ini masih digunakan sebagai jalur logistik militer. Pasca-kemerdekaan, jalur ini menjadi urat nadi angkutan penumpang dan barang. Hingga kini, jembatan ini masih aktif dilalui kereta api komuter maupun antarkota.

Nama “Buk Gluduk” berasal dari bunyi khas “gluduk-gluduk” yang ditimbulkan saat kereta lewat, menggema di ruang bawah jembatan. Suara ini, yang dulu membuat anak-anak kampung menengadah dengan takjub, kini menjadi ciri nostalgia tersendiri bagi warga Malang.

Di balik pesonanya yang historis, kawasan sekitar Buk Gluduk kini menjadi salah satu titik paling padat lalu lintas di Kota Malang. Persimpangan jalan di bawah jembatan menghubungkan banyak arah, mulai dari Jalan Kolonel Sugiono, Jalan Gatot Subroto, hingga kawasan Pasar Besar dan Alun-Alun Tugu.

“Kalau pagi dan sore, kendaraan sering macet karena jalan sempit dan pandangan terhalang tiang jembatan. Kadang juga rawan kecelakaan,” kata Yudi, pengendara ojek daring yang kerap melintasi lokasi.

Baca Juga :  Proses Pencoblosan Pemilu 2024 Sudah Selesai, Ketua PBNU Mengajak Seluruh Umat Tetap Menjaga Kerukunan

Pada dekade 1980–1990-an, jembatan ini sempat menjadi salah satu titik favorit untuk para fotografer dan wisatawan domestik yang ingin melihat kereta dari jarak dekat.

Namun seiring perkembangan kota dan padatnya arus lalu lintas, kawasan di bawah jembatan kini lebih dikenal sebagai simpul kemacetan dan pusat aktivitas warga.

Sejumlah pegiat sejarah dan arsitektur kota bahkan mendorong agar Jembatan Buk Gluduk dijadikan bagian dari kawasan cagar budaya atau heritage trail.

Alasannya, jembatan ini menyimpan nilai sejarah tinggi sebagai infrastruktur transportasi era kolonial yang masih aktif digunakan.

“Sayang kalau hanya dipandang sebagai penghambat lalu lintas. Ini aset sejarah kota yang bisa dihidupkan kembali sebagai ruang edukasi dan pariwisata,” ujar Andika, pemerhati sejarah lokal.

Meski begitu, hingga hari ini, Jembatan Buk Gluduk tetap aktif dilalui berbagai kereta api, baik komuter maupun antarkota. Dan yang lebih penting, jembatan ini terus berdiri sebagai saksi bisu perjalanan panjang Kota Malang dari masa kolonial hingga era modern.(mit)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *