Ekonomi Bisnis

Dilema Petani Kopi Wagir di Lereng Timur Gunung Kawi

122
×

Dilema Petani Kopi Wagir di Lereng Timur Gunung Kawi

Share this article
Aroma tanah basah dan kabut pagi yang menggantung di lereng timur Gunung Kawi, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, menyambut Pietra Widiadi setiap harinya. Selama satu dekade terakhir, pria berusia 44 tahun itu tekun merawat pohon-pohon kopi di lahan bekas tegalan yang dahulu rusak parah
Ilustrasi tanaman kopi.(foto:repro)

Sudutkota.id – Aroma tanah basah dan kabut pagi yang menggantung di lereng timur Gunung Kawi, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, menyambut Pietra Widiadi setiap harinya. Selama satu dekade terakhir, pria berusia 44 tahun itu tekun merawat pohon-pohon kopi di lahan bekas tegalan yang dahulu rusak parah.

Lewat perawatan sederhana namun konsisten, seperti pemangkasan daun tua, pemupukan organik, dan peneduhan alami, lahan itu kini berubah menjadi kebun kopi yang produktif.

Namun, meski biji kopi kering kini dihargai hingga Rp 90.000 per kilogram saat pra-panen, dan cherry merah dihargai dua kali lipat dari lima tahun lalu, kehidupan petani seperti Pietra tidak serta-merta membaik.

“Kami memang merasakan harga kopi naik, tapi beban hidup juga ikut naik. Pendapatan kami tidak sebanding dengan biaya perawatan dan risiko yang kami hadapi,” ujar Pietra sambil membersihkan gulma di antara barisan tanaman kopinya.

Masalah utama, menurut Pietra, bukan semata soal harga. Jalur distribusi yang panjang membuat keuntungan lebih banyak dinikmati oleh para tengkulak dan makelar yang bermain di tengah rantai pasok.

Baca Juga :  Sungai Amazon Mengering, Dampak Kekeringan Terburuk Sepanjang Masa

Sementara, petani kopi di kawasan Wagir kerap tidak memiliki pilihan selain menjual hasil panen mereka lewat perantara. Karena keterbatasan akses pasar dan modal.

Tak sedikit dari mereka yang, selain bertani, juga menjadi makelar untuk menambah penghasilan. Pada musim panen, banyak petani harus menyambi mengumpulkan kopi dari kebun-kebun lain demi mendapatkan tambahan upah dari pedagang besar di kota.

Ironisnya, saat panen datang dan harga kopi sedang tinggi, keresahan pun ikut membayangi. Maraknya pencurian buah kopi menjadi momok yang sulit ditangkal.

“Biasanya malam hari, kalau kami tidak jaga, buah bisa lenyap begitu saja,” ujar Pietra.

Sistem ronda malam yang dulu kuat dengan kehadiran Jagabaya, kini hanya tinggal cerita. Pos-pos ronda yang ada kini lebih sering dipakai untuk bermain domino atau sekadar tempat melepas kantuk. Radio tua dengan siaran tak beraturan menjadi satu-satunya suara yang terdengar selepas tengah malam.

Selain keamanan, cuaca yang semakin tidak menentu menambah beban pikiran petani. Pola musim yang bergeser dan hujan yang datang tanpa diduga membuat banyak bunga kopi gugur sebelum sempat menjadi buah.

Baca Juga :  Meski Permintaan Menurun, Harga Tanaman Hias di Kota Batu Tak Ikut Turun, Ini Sebabnya

“Tahun lalu, saya kehilangan hampir separuh potensi panen hanya karena bunga rontok akibat hujan malam,” kenang Pietra.

Situasi ini menjadi lebih pelik karena sebagian besar petani tidak memiliki sistem irigasi maupun peneduh alami yang cukup.

Tanaman kopi yang terlalu terbuka rentan terhadap angin dan hujan ekstrem. Upaya untuk menanam tumpang sari atau pohon pelindung sering terkendala keterbatasan lahan dan modal.

Meski pemerintah menyediakan Kredit Usaha Rakyat (KUR), banyak petani kecil merasa persyaratannya terlalu rumit. Alhasil, mereka lebih sering mengandalkan koperasi atau lembaga keuangan mikro yang menawarkan bunga lebih tinggi.

Sementara itu, di kota-kota besar, kopi dari Gunung Kawi bisa dinikmati di kafe-kafe dengan harga belasan hingga puluhan ribu Rupiah per cangkir.

Namun di balik kenikmatan itu, ada realitas getir yang disembunyikan. Petani yang memproduksinya masih bergelut dengan utang, cuaca dan pencurian.

“Kopi dari Wagir itu enak, tapi nikmatnya belum berpihak ke petani,” tutup Pietra dengan senyum yang menggantung, antara pasrah dan berharap.(mit)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *