Sudutkota.id – Kasus yang menimpa Yai MIM, seorang dosen sekaligus tokoh masyarakat di Malang, kini menjadi perbincangan hangat di tengah warga. Perselisihannya dengan Sahara, seorang pengusaha rental mobil, tampak melebar menjadi isu sosial yang lebih kompleks.
“Awalnya hanya konflik dua orang, tapi karena ada kepentingan dan bisik-bisik di lingkungan, masalahnya jadi meluas,” ujar Asep Suriaman, S.Psi., M.Psi., Peneliti Sosial dari Pusat Studi Demokrasi dan Kebijakan Publik (Pusdek), Minggu (5/10/2025).
Menurut Asep, dinamika sosial di sekitar Yai MIM memperlihatkan bagaimana jejaring kekuasaan di tingkat lokal bisa berubah menjadi tekanan sosial. Ia menyebut keterlibatan informal dari struktur RT, RW, hingga perangkat desa/kelurahan dapat memperkeruh keadaan jika tidak netral.
“Ketika tokoh-tokoh lokal ikut berpendapat tanpa data, framing bisa terbentuk dengan cepat dan menghakimi satu pihak,” ungkapnya.
Asep menilai, solidaritas sosial di tingkat akar rumput kini sering kali menjadi semu, karena lebih dipengaruhi opini dan emosi ketimbang fakta. Ia menegaskan bahwa sistem sosial semacam itu bisa menghancurkan reputasi seseorang tanpa melalui proses klarifikasi.
“Kadang yang tampak solid justru rapuh, karena lebih cepat percaya gosip daripada kebenaran,” ujarnya.
Bagi masyarakat yang mengenal dekat, Yai MIM bukanlah sosok yang seperti digambarkan dalam tudingan-tudingan itu. Ia dikenal sebagai pendidik yang sederhana, aktif mengajar, dan terbuka terhadap lingkungan. Namun ketika framing muncul, banyak warga memilih diam.
“Diam itu bukan berarti setuju, tapi takut, karena lingkungan kecil bisa kejam bagi yang dianggap ‘berbeda’,” jelas Asep.
Fenomena ini, lanjutnya, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh sosial di masyarakat terhadap penilaian individu. Ketika persepsi kolektif terbentuk tanpa verifikasi, seseorang bisa kehilangan hak sosial dan moralnya.
“Yang berbahaya, masyarakat lebih cepat mengadili di ruang publik daripada memberi ruang pembelaan,” tutur Asep menambahkan.
Ia juga menyinggung peran aparat sosial yang seharusnya menjaga keseimbangan, bukan justru memperkuat opini tertentu. Menurutnya, jika aparatur tidak mampu menempatkan diri secara adil, maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem sosial.
“Keadilan di tingkat bawah itu fondasi demokrasi, kalau fondasi itu retak, yang tumbuh hanyalah ketakutan,” katanya tegas.
Asep berharap kasus ini menjadi refleksi bersama agar masyarakat lebih berhati-hati dalam menyikapi informasi. Ia mengingatkan bahwa kebenaran sering kali tenggelam oleh suara mayoritas yang gaduh.
“Kita semua bisa jadi Yai MIM berikutnya kalau tidak belajar memilah mana fakta dan mana framing,” pungkasnya.




















