Hukum

Sidang Kasus TPPO di Malang, Kuasa Hukum Sebut Masalah Izin OSS Bukan Pidana

98
×

Sidang Kasus TPPO di Malang, Kuasa Hukum Sebut Masalah Izin OSS Bukan Pidana

Share this article
Sidang Kasus TPPO di Malang, Kuasa Hukum Sebut Masalah Izin OSS Bukan Pidana
Sidang lanjutan kasus TPPO di Sukun, Kota Malang, dengan agenda keterangan ahli.(foto:sudutkota.id/mit)

Sudutkota.id – Kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang terjadi di wilayah Kecamatan Sukun, Kota Malang, terus bergulir di meja hijau. Dua terdakwa, masing-masing SR (42) dan ES (37), yang disebut sebagai perwakilan cabang dari sebuah perusahaan jasa perekrutan tenaga kerja, menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Kota Malang, Senin siang (4/8/2025), dengan agenda pemeriksaan ahli.

Sidang berlangsung di ruang Garuda dan terbuka untuk umum. Dari pihak terdakwa, hanya satu orang ahli yang dihadirkan, yakni dr. Zulkarnain, dosen Universitas Widyagama Malang. Ia dimintai pendapat akademis terkait legalitas operasional perekrutan tenaga kerja oleh kantor cabang perusahaan tempat terdakwa bekerja.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Moch Herianto dalam keterangannya kepada media menyatakan bahwa, keterangan ahli tidak mempengaruhi keyakinan jaksa dalam membuktikan unsur-unsur pidana dalam kasus tersebut.

“Terima kasih kepada semua pihak. Hari ini kami mendengarkan keterangan dari satu ahli yang diajukan oleh pihak terdakwa. Namun demikian, keterangan tersebut tidak cukup kuat untuk menggeser keyakinan kami atas pembuktian unsur-unsur dalam dakwaan,” tegas Herianto.

Ia menambahkan bahwa majelis hakim masih memberikan kesempatan satu kali lagi kepada pihak terdakwa untuk menghadirkan saksi tambahan. Jika kesempatan itu tidak digunakan, maka sidang akan langsung berlanjut ke agenda berikutnya, yakni pemeriksaan lanjutan atau tuntutan.

Kasus ini bermula dari laporan sejumlah korban yang berasal dari Malang Raya. Mereka mengaku dijanjikan pekerjaan legal di Hong Kong. Di sana, mereka tidak hanya kehilangan hak kerja, tapi juga diduga mengalami kekerasan, intimidasi, hingga penyekapan oleh agen lokal.

Baca Juga :  Istri Mantan Perdana Menteri Malaysia Dibebaskan dari Tuduhan Pencucian Uang dan Penggelapan Pajak

Para korban mengaku diberangkatkan oleh agen perekrutan yang berkantor di wilayah Kecamatan Sukun, Kota Malang, tanpa prosedur dan izin resmi yang sesuai aturan pemerintah.

Polisi kemudian melakukan pengembangan dan menetapkan dua orang sebagai tersangka, yakni SR dan ES, yang disebut bertugas di kantor cabang perusahaan perekrutan tenaga kerja swasta.

Keduanya diduga terlibat dalam proses perekrutan, pengumpulan data pribadi calon tenaga kerja, hingga memfasilitasi pengiriman dokumen ke kantor pusat untuk selanjutnya dikirim ke luar negeri.

Membela kliennya, kuasa hukum kedua terdakwa, Amri Piliang, menyebut bahwa kasus ini seharusnya tidak dikategorikan sebagai tindak pidana perdagangan orang. Ia menilai proses hukum yang dijalankan terlalu terburu-buru dan tidak proporsional, karena akar persoalannya terletak pada administrasi perizinan, bukan eksploitasi atau pemaksaan.

“Yang dipermasalahkan oleh JPU adalah belum terbitnya izin OSS (Online Single Submission) untuk cabang. Padahal OSS itu merupakan bagian dari proses administratif, bukan unsur pidana. Kalau pun ada keterlambatan atau belum dipenuhi, sanksinya adalah administratif, bukan penjara,” ujar Amri.

Ia juga menambahkan bahwa dalam sistem hukum Indonesia, sebuah kantor cabang tidak bisa melakukan perekrutan jika tidak memiliki izin. Namun, bila perusahaan induk sudah mendapatkan izin dari Kementerian Tenaga Kerja, maka perusahaan tersebut sah secara hukum untuk melakukan rekrutmen di berbagai daerah.

“Yang kami sesalkan, yang justru melakukan perekrutan liar, orang per orang, tanpa badan hukum dan memberangkatkan ke negara rawan malah tidak ditindak. Sementara perusahaan yang mengurus legalitas dan mengikuti prosedur malah diseret ke ranah pidana karena izin OSS yang sedang dalam proses,” ujarnya.

Baca Juga :  Dendam Pribadi, Penjaga Parkir Bacok Pedagang Sayur di Pasar Karangploso

Amri menegaskan bahwa tanggung jawab hukum atas operasional kantor cabang tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada karyawan di lapangan. Ia merujuk pada Pasal 353 KUHP, yang menyebutkan bahwa tanggung jawab hukum atas kegiatan kantor cabang berada pada kantor pusat, termasuk direktur utama, komisaris, atau jajaran manajemen lainnya.

“Kami akan menghadirkan saksi tambahan, termasuk kemungkinan menghadirkan direktur utama, komisaris, atau pejabat perusahaan di tingkat pusat. Karena kalaupun ada pelanggaran, itu tanggung jawab struktural di atas, bukan SR dan ES yang hanya pegawai administratif,” tambah Amri.

Majelis hakim dalam sidang juga menegaskan bahwa pihak terdakwa masih diberikan kesempatan terakhir untuk menghadirkan saksi tambahan.

Jika pada sidang berikutnya saksi tidak bisa dihadirkan, maka proses akan langsung berlanjut ke tahapan pembuktian lain atau pembacaan tuntutan.

Sidang dijadwalkan kembali pekan depan dan diperkirakan akan mulai memasuki fase krusial dalam menentukan arah vonis terhadap kedua terdakwa.

Kasus ini menjadi perhatian luas publik, karena menyangkut perlindungan warga negara terhadap praktik perdagangan orang yang masih marak terjadi melalui jalur-jalur tidak resmi.

Jika terbukti bersalah, SR dan ES terancam hukuman berdasarkan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga Rp. 600 Juta.(mit)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *