Sudutkota.id – Rusia melancarkan serangan drone terbesar sejak invasi ke Ukraina dimulai, menghantam permukiman sipil dan menewaskan sedikitnya satu orang pada Minggu (19/5), sehari sebelum Presiden Amerika Serikat Donald Trump dijadwalkan berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin mengenai usulan gencatan senjata.
Menurut laporan yang dikutip media ini dari Reuters, angkatan udara Ukraina menyatakan bahwa Rusia meluncurkan 273 drone ke berbagai kota di Ukraina sepanjang malam hingga pukul 08.00 pagi waktu setempat – jumlah tertinggi yang pernah tercatat selama konflik berlangsung.
Dinas intelijen Ukraina menuding Moskow juga berencana menguji rudal balistik antarbenua pada hari yang sama, sebagai bentuk tekanan psikologis terhadap negara-negara Barat. Belum ada pernyataan resmi dari Kremlin mengenai klaim tersebut.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy, yang tengah mencari dukungan dari Washington setelah hubungan yang sempat tegang pasca kunjungannya ke Gedung Putih Februari lalu, bertemu dengan Wakil Presiden AS JD Vance dan Menteri Luar Negeri Marco Rubio di Roma, saat menghadiri pelantikan Paus Leo. Zelenskiy menyebut pembicaraan berlangsung produktif dan menyampaikan kesiapan Ukraina untuk kembali ke jalur diplomasi.
“Saya menegaskan bahwa Ukraina siap untuk terlibat dalam diplomasi nyata, dan menekankan pentingnya gencatan senjata penuh dan tanpa syarat secepat mungkin,” ujar Zelenskiy, seperti dikutip dari pernyataan resminya.
Sebagaimana dilaporkan Reuters, serangan tersebut merusak belasan rumah di wilayah Kyiv. Salah satu warga, Natalia Piven (44), menggambarkan momen mengerikan saat drone menghantam rumahnya di Obukhiv.
“Saya belum bisa menerima kenyataan ini. Saya benar-benar mendengar drone itu terbang langsung ke arah rumah saya,” ujar Piven kepada Reuters. Ia selamat bersama anaknya setelah berlari ke tempat perlindungan, namun tetangganya, seorang perempuan 28 tahun, tewas di tempat.
Dalam perkembangan diplomatik lainnya, Ukraina dan Rusia pada Jumat lalu mengadakan pertemuan langsung pertama mereka dalam lebih dari tiga tahun. Pertemuan ini terjadi atas dorongan Trump, yang berjanji akan “mengakhiri perang dalam hitungan minggu”. Meskipun kedua pihak sepakat menukar 1.000 tahanan, pembicaraan gencatan senjata gagal karena Rusia mengajukan tuntutan yang dianggap “tidak bisa diterima” oleh delegasi Ukraina.
Menjelang pertemuan penting antara Trump dan Putin yang dijadwalkan Senin (20/5), Kanselir Jerman Friedrich Merz menyatakan bahwa para pemimpin Inggris, Prancis, Jerman, dan Polandia akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan Trump. Keempat negara tersebut sebelumnya mengunjungi Kyiv dan mendesak AS untuk tidak mengendurkan tekanan terhadap Rusia.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengatakan kepada NBC News bahwa Presiden Trump akan menentukan arah kebijakan selanjutnya terkait sanksi.
“Presiden Trump sudah sangat jelas, jika Presiden Putin tidak bernegosiasi dengan itikad baik, maka AS tidak akan ragu untuk memperketat sanksi terhadap Rusia bersama mitra Eropa,” ujarnya.
Trump sendiri kini tampak lebih akomodatif terhadap posisi Rusia, mendorong kesepakatan damai yang menurut Ukraina bisa merugikan kedaulatan mereka. Meski begitu, Zelenskiy tetap membuka diri terhadap inisiatif gencatan senjata selama paling tidak 30 hari, asalkan tanpa prasyarat.
Namun, Moskow tetap bersikukuh bahwa gencatan senjata hanya mungkin terjadi jika Ukraina menghentikan pasokan senjata Barat, menyerahkan wilayah tertentu, dan menyatakan status netral – syarat yang menurut Kyiv setara dengan penyerahan diri. (mm)