Sudutkota.id – Forum Analisa Hukum dan Kebijakan Publik (FAHKP) terus mengupas hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait operasional PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur (Bank Jatim).
Hasilnya cukup mencengangkan. Salah satunya adalah Busrul Iman yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama Bank Jatim, bonus tunai dan saham sekitar Rp445 juta per bulan. Itu belum jajaran direksi lainnya.
Laporan Operasional BUMD PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur (Bank Jatim) Tahun 2022 mengungkap besarnya bonus (tantiem) yang diterima jajaran direksi dan komisaris BPD Jatim untuk Tahun Buku 2021, dengan nilai per orang mencapai miliaran rupiah.
Hal ini terungkap usai Forum Analisa Hukum dan Kebijakan Publik (FAHKP) membeberkan dokumen temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait beban operasional bank milik Pemprov Jatim tersebut. Jika dihitung secara sederhana, besaran tersebut setara ratusan kali Upah Minimum Kota (UMK) Surabaya.
Berdasarkan dokumen tersebut, total bonus pengurus setelah pajak tercatat sebesar Rp38,57 miliar, dengan bonus yang benar-benar direalisasikan (tunai dan saham) mencapai Rp35,58 miliar, meski telah dikurangi malus Rp1,37 miliar dan disertai bonus ditangguhkan Rp1,61 miliar.
Untuk Direktur Utama Busrul Iman, bonus setelah pajak tercatat sebesar Rp5.937.874.853,02 dalam satu tahun. Dengan realisasi bonus tunai dan saham sebesar Rp5.342.009.111,52, angka tersebut jika dirata-ratakan setara sekitar Rp445 juta per bulan.
Sebagai perbandingan, UMK Surabaya Tahun 2021 ditetapkan sebesar Rp4.300.479 per bulan, atau sekitar Rp51,6 juta per tahun. Artinya, bonus tahunan Direktur Utama Bank Jatim setara dengan penghasilan pekerja UMK Surabaya selama sekitar 115 tahun kerja, atau lebih dari 1.300 kali gaji bulanan UMK.
Besaran serupa juga diterima jajaran direksi lainnya. Direktur Kepatuhan dan Manajemen Risiko (E.S.C.) memperoleh bonus setelah pajak Rp5,369 miliar, setara sekitar Rp447 juta per bulan. Direktur Risiko Bisnis (R.M.) dan Direktur Teknologi Informasi dan Operasi (T.P.) masing-masing menerima bonus sekitar Rp5,36 miliar per tahun, atau lebih dari Rp446 juta per bulan.
Sementara itu, Direktur Keuangan (pensiun) F.T.S. tercatat menerima bonus Rp5,517 miliar dalam satu tahun. Jika dibandingkan UMK Surabaya, nilai tersebut setara dengan sekitar 107 tahun penghasilan pekerja upah minimum.
Di jajaran komisaris, Komisaris Utama (pensiun) A.S. menerima bonus Rp1,225 miliar per tahun, setara sekitar Rp102 juta per bulan, atau hampir 24 kali lipat penghasilan tahunan pekerja UMK Surabaya. Adapun sejumlah Komisaris Independen, seperti C.F.A. dan M.M., masing-masing tercatat menerima bonus di kisaran Rp2,52 miliar per tahun.
Dokumen tersebut juga mencatat bahwa pengenaan malus hanya diterapkan pada komponen tantiem, sementara sebagian bonus tetap diberikan dalam bentuk tunai, saham, dan ditangguhkan. Skema ini diklaim sebagai bagian dari penerapan tata kelola dan manajemen risiko perusahaan.
Namun demikian, jika disandingkan dengan realitas upah minimum di kota terbesar di Jawa Timur, jurang ketimpangan antara penghasilan pengurus BUMD dan pekerja bergaji UMK tampak sangat lebar, memunculkan pertanyaan publik soal keadilan distribusi kesejahteraan di badan usaha milik daerah.
Hal itu dinilai tidak sejalan dengan prinsip kehati-hatian, good corporate governance (GCG), serta ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yakni Peraturan OJK Nomor 45/POJK.03/2015 yang mewajibkan perhitungan remunerasi harus didasarkan pada penilaian Key Performance Indicator (KPI).




















