Internasional

Saat Dunia Krisis Pangan, Negara Kecil Ini Justru Tahan Banting

10
×

Saat Dunia Krisis Pangan, Negara Kecil Ini Justru Tahan Banting

Share this article
Sebuah studi global terbaru menemukan bahwa dari 186 negara yang dianalisis, hanya Guyana yang mampu memproduksi seluruh kebutuhan pangannya sendiri tanpa bergantung pada impor. Temuan ini dipublikasikan dalam jurnal Nature Food oleh tim peneliti dari Universitas Gottingen, Jerman, dan Universitas Edinburgh, Inggris.
Guyana, yang dilingkari hijau, adalah satu-satunya negara yang ditemukan dalam penelitian ini yang menghasilkan makanan untuk memenuhi kebutuhan penduduknya di semua tujuh kelompok makanan. (foto: BBC Science Focus/ Jonas Stehl)

Sudutkota.id– Sebuah studi global terbaru menemukan bahwa dari 186 negara yang dianalisis, hanya Guyana yang mampu memproduksi seluruh kebutuhan pangannya sendiri tanpa bergantung pada impor. Temuan ini dipublikasikan dalam jurnal Nature Food oleh tim peneliti dari Universitas Gottingen, Jerman, dan Universitas Edinburgh, Inggris.

Penelitian ini menilai kemampuan negara-negara untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya berdasarkan tujuh kelompok makanan utama: buah-buahan, sayuran, susu, ikan, daging, protein nabati, dan makanan pokok berkarbohidrat.

Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas negara, sekitar 65 persen, memproduksi daging dan susu secara berlebihan, sementara hanya sebagian kecil yang cukup memproduksi kelompok makanan lain seperti sayuran dan protein nabati.

Guyana, negara kecil di Amerika Selatan, menjadi satu-satunya yang berhasil mencapai swasembada total di semua kelompok makanan. Sementara itu, China dan Vietnam menyusul dengan mampu mencukupi kebutuhan dalam enam dari tujuh kategori.

Lebih lanjut, hanya satu dari tujuh negara yang bisa disebut mandiri dalam lima kelompok makanan atau lebih. Sebaliknya, beberapa negara seperti Afghanistan, Uni Emirat Arab, Irak, Makau, Qatar, dan Yaman tidak mandiri di kelompok pangan manapun.

Baca Juga :  Revitalisasi Pasar Besar Kota Malang, DPRD Sebut Anggaran Capai Rp 300 Miliar

Studi ini juga mencatat bahwa kurang dari separuh negara menghasilkan cukup protein nabati seperti kacang-kacangan, lentil, dan biji-bijian, serta makanan pokok berkarbohidrat. Hanya 24 persen negara yang mampu memenuhi kebutuhan sayuran secara mandiri.

Secara umum, negara-negara di Eropa dan Amerika Selatan lebih mendekati swasembada pangan dibanding wilayah lain. Sebaliknya, negara-negara kepulauan kecil, negara-negara di Jazirah Arab, serta negara berpendapatan rendah lebih bergantung pada impor.

Menurut Dr. Jonas Stehl, peneliti utama studi ini, tingkat swasembada rendah tidak selalu buruk. Ia menjelaskan bahwa beberapa negara tidak memiliki kondisi geografis yang mendukung pertanian, seperti curah hujan cukup, tanah subur, atau iklim yang stabil.

“Dalam banyak kasus, mengimpor makanan bisa lebih efisien dan hemat biaya dibandingkan memproduksinya sendiri,” ujar Stehl, dikutip dari BBC Science Focus. Minggu (15/06).

Baca Juga :  Yoon Suk Yeol Hadiri Sidang Pertama Tuduhan Pemberontakan di Seoul

Namun, ia juga memperingatkan bahwa ketergantungan terhadap impor dapat memperlemah ketahanan pangan jika terjadi krisis global seperti kekeringan, perang, atau larangan ekspor.

Penelitian ini menggunakan panduan nutrisi dari diet Livewell milik World Wildlife Fund sebagai acuan kebutuhan gizi penduduk. Diet ini mendorong konsumsi nabati yang lebih tinggi, seperti sayuran dan biji-bijian, serta mengurangi konsumsi makanan tinggi lemak, garam, dan gula.

Isu kemandirian pangan kembali mengemuka setelah pandemi COVID-19 dan perang Rusia-Ukraina mengganggu rantai pasok global. Menurut Stehl, minat terhadap swasembada pangan nasional kini meningkat, seiring dengan munculnya nasionalisme dan keinginan mengurangi ketergantungan pada negara lain.

“Membangun rantai pasok pangan yang tangguh sangat penting untuk menjamin kesehatan dan ketahanan masyarakat di masa depan,” pungkasnya. (kae)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *