Sudutkota.id – Ketua Komisi B DPRD Kota Malang, H. Bayu Rekso Aji, menilai pelaksanaan program Rp50 juta per RT masih belum sepenuhnya tepat sasaran dalam menjawab persoalan mendasar masyarakat, khususnya terkait penanganan banjir dan infrastruktur lingkungan. Ia mendorong agar perencanaan pembangunan ke depan menggunakan pendekatan berbasis kawasan, bukan parsial per RT.
Hal tersebut disampaikan Bayu kepada Sudutkota.id, Kamis (18/12/2025), menyusul masih ditemukannya aspirasi warga yang tereduksi bahkan hilang saat masuk dalam tahapan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), terutama di tingkat kelurahan hingga RT.
Bayu mengungkapkan, berdasarkan dokumen perencanaan yang diterimanya, terdapat sejumlah program prioritas masyarakat seperti pembangunan gorong-gorong, drainase, hingga sumur resapan yang sebenarnya telah diusulkan warga. Namun, dalam proses perubahan usulan, sebagian program tersebut justru tidak ditampilkan secara utuh.
“Saya pegang dokumennya. Programnya ada. Tapi ketika turun ke level perubahan, ada yang dicoret. Saya juga bertemu Ketua RT di wilayah Purwantoro yang terdampak, mereka menyampaikan langsung keluhannya karena usulan tidak sampai,” ujar Bayu.
Menurutnya, persoalan ini kerap terjadi akibat perbedaan penerjemahan kamus usulan di tingkat kelurahan. Bahkan, Bayu menyebut ada kelurahan yang sengaja tidak menampilkan seluruh poin usulan dengan alasan keterbatasan waktu, kesiapan kelompok masyarakat (Pokmas), maupun pertimbangan kemudahan pengerjaan kegiatan.
“Ada beberapa kelurahan yang kamus usulannya berbeda. Ini jelas tidak boleh, baik secara etika maupun aturan. Usulan warga tidak boleh dihilangkan,” tegasnya.
Selain itu, Bayu juga menyoroti lemahnya komunikasi publik antara kelurahan, kecamatan, hingga RT. Ia menilai masih ada lurah yang tidak menyampaikan secara rinci terkait Peraturan Wali Kota (Perwal) maupun surat edaran tentang mekanisme pengusulan program pembangunan.
Terkait program Rp50 juta per RT, Bayu menilai skema pembagian anggaran yang bersifat parsial sering kali tidak mampu menyelesaikan persoalan lingkungan yang bersifat struktural dan kawasan, terutama banjir.
“Kalau persoalannya banjir, Rp50 juta per RT itu tidak cukup kalau berdiri sendiri. Tapi kalau digabung, misalnya satu kawasan ada 8 sampai 12 RT, anggarannya bisa Rp400 sampai Rp600 juta. Itu baru bisa menyelesaikan masalah,” jelasnya.
Ia mencontohkan pembangunan sumur resapan yang rata-rata membutuhkan anggaran sekitar Rp10 juta per titik. Menurut Bayu, pembangunan satu atau dua titik di satu RT tidak akan berdampak signifikan jika persoalan banjir terjadi di satu kawasan yang luas.
“Yang dibutuhkan itu area wide. Fokus di titik banjirnya. Jangan dipaksakan dibagi rata per RT,” katanya.
Bayu juga mengkritisi pola pikir pengelolaan anggaran di tingkat RT yang cenderung berorientasi pada penghabisan anggaran, bukan pada hasil atau dampak pembangunan.
“Mindset-nya masih ‘uang harus habis’. Akhirnya ada yang beli kursi atau barang lain yang tidak menyelesaikan masalah. Ini yang tidak kita inginkan,” ujarnya.
Untuk itu, Komisi B DPRD Kota Malang akan mendorong Bappeda, Sekretaris Daerah, serta wali kota agar memberikan arahan yang lebih jelas dan teknis, sehingga Perwal dan surat edaran terkait perencanaan pembangunan benar-benar diterjemahkan secara seragam hingga tingkat RT.
Bayu berharap, perencanaan pembangunan tahun 2027 bisa menjadi momentum perbaikan tata kelola usulan warga, mengingat anggaran tahun 2026 telah terkunci.
“Anggarannya besar, tapi harus tepat sasaran. Jangan sampai dana habis, tapi masalah warga tetap ada,” pungkasnya.




















