Polemik Paskibraka Putri Lepas Jilbab, Bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi

0
Pengukuhuan Paskibraka 2024 oleh Presiden di IKN (foto: Dok. Kemensesneg)
Advertisement

Sudutkota.id- Ramai di media sosial polemik menunjukkan Paskibraka perempuan 2024 tidak ada satupun yang mengenakan jilbab. Padahal, Paskibraka yang akan bertugas dalam Upacara HUT ke-79 RI di IKN tersebut, beberapa di antaranya, sebenarnya ada yang menggunakan jilbab.
 
Beberapa di antara Paskibraka perempuan yang mengenakan jilbab, di antaranya, berasal dari Kabupaten Morowali yakni, Zahra Aisya, termasuk delegasi dari Aceh. Di mana mereka sebelumnya mengenakan hijab , namun ketika sampai di IKN harus mencopot penutup aurat itu. Hal itu jelas berbeda dengan kebijakan sebelumnya yang membebaskan Paskibraka perempuan boleh mengenakan jilbab atau tidak

Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi pun beralasan calon Paskibraka yang mengikuti seleksi telah menandatangani surat pernyataan di atas meterai Rp 10 ribu, salah satunya tentang aturan tata pakaian. Yudian mengatakan aturan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Kepala BPIP Nomor 35 Tahun 2024 tentang standar pakaian, atribut, dan sikap, tampang Pasukan Pengibar Bendera Pusaka.
 
“Pada saat pendaftaran, setiap calon Paskibraka tahun 2024 mendaftar secara sukarela untuk mengikuti seleksi administrasi dengan menyampaikan surat pernyataan yang ditandatangani di atas meterai Rp 10 ribu,” ujar Yudian di Ibu Kota Nusantara, Kalimantan Timur, Rabu (14/8).

Menanggapi hal itu, Anggota Komisi VIII DPR RI Wisnu Wijaya mengaku prihatin dengan aturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang membuat Paskibraka putri yang berpotensi menanggalkan jilbabnya dalam melaksanakan tugas pengibaran bendera pusaka pada upacara kenegaraan 17 Agustus 2024 mendatang di IKN.

Diketahui, aturan Kepala BPIP tersebut tidak menyebutkan secara eksplisit melarang penggunaan jilbab bagi Paskibraka putri. Namun, aturan tersebut hanya memuat ketentuan penyeragaman seragam kepada Paskibraka putri, baik yang berjilbab maupun yang tidak, untuk momen pengukuhan dan pelaksanaan petugas upacara HUT ke-79 RI di IKN mendatang.

Wisnu klaim BPIP yang menyebut hal itu dilakukan atas dasar sukarela dinilai sebagai hal yang sulit diterima dengan akal sehat.

“Selain tidak bijaksana, aturan itu juga dibuat dengan dasar yang lemah karena secara filosofis bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi, yakni sila pertama Pancasila dan Pasal 28E ayat (1-2) serta Pasal 29 ayat (1-2) UUD NRI 1945,” tegas Wisnu pada Kamis (15/8).

Politisi PKS ini menyatakan kekhawatirannya terkait adanya upaya sekularisasi yang tercermin lewat aturan BPIP yang menyasar anggota Paskibraka putri berjilbab tersebut.

“Kami tegas menentang hal itu. Indonesia adalah negara berketuhanan, bukan negara sekuler. Artinya, negara mendudukan agama sebagai nilai-nilai (value) yang bersenyawa dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat serta praktik berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia. Bukan justru menegasikannya dari praktik berbangsa dan bernegara kita, sebagaimana tercermin dari aturan BPIP tersebut,” jelasnya.

Wisnu mengungkapkan, pondasi Indonesia sebagai Negara yang berketuhanan secara eksplisit tercermin dalam bunyi alinea ketiga Pembukaan UUD 1945.

“Atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya. Artinya, para founding fathers Republik, baik yang berhaluan nasionalis, bahkan yang komunis pada masa itu, juga mengakui bahwa republik ini bisa merdeka dan berdiri karena adanya peran ilahiyah, bukan semata-mata karena usaha material mereka saja,” terangnya.

Sehingga, menjadi ahistoris dan tidak relevan apabila ada kebijakan penyelenggara negara saat ini yang justru memposisikan praktik keagamaan dengan praktik kebangsaan secara berhadap-hadapan (vis a vis) atau saling menegasikan satu sama lain.

Lebih lanjut, Wisnu mengusulkan agar BPIP segera merevisi aturan tersebut. Dia mengusulkan agar aturan itu mencerminkan “jalan tengah” dengan mengakomodasi keinginan muslimah anggota paskibraka yang ingin menggunakan jilbab diwadahi kebutuhannya tersebut secara proporsional.

“Kami mendorong agar aturan itu mencerminkan jalan tengah. Jilbab tetap bisa digunakan, bagi yang menghendaki, sepanjang model dan cara penggunaanya tidak membuat performa dari anggota paskibraka terganggu dan tetap terlihat patut. Lagipula, sejauh ini belum ada temuan yang menunjukan bahwa penggunaan jilbab bagi wanita yang berperan di ranah publik mengganggu performa mereka selama menjalankan tugas dan tanggungjawabnya,” pungkasnya. (Ama)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here