Sudutkota.id – Penggunaan sumber air oleh CV Milkindo di wilayah Malang Selatan menjadi sorotan pegiat lingkungan. Pasalnya, aktivitas industri dan wisata yang dijalankan bersamaan oleh perusahaan tersebut dinilai berpotensi menimbulkan dampak ekologis serius jika tidak diiringi perizinan yang lengkap.
“Kami melihat ada dua kegiatan besar di sana, produksi susu dan aktivitas wisata air. Tapi dari informasi yang kami terima, izinnya baru satu bidang yaitu Penggunaan untuk industri pengolahan susu dan krim,” kata Andik Syaifudin, Founder Sahabat Alam Indonesia, Jumat (14/11/2025).
Menurut Andik, penggunaan air sumur bor tanpa izin lengkap disertai kajian analisis mengenai dampak lingkungan dari instansi terkait SIPA dapat mengancam ketersediaan air baku bagi masyarakat sekitar.
Ia menjelaskan, aktivitas penyedotan air tanah dalam skala besar akan berpengaruh pada debit sumur warga yang berada di sekitar lokasi industri.
“Perlu di tinjaunya perizinan salah satunya lewat dari Pusat Sumber Daya Air (PU-SDA), rekomendasi Dinas Lingkungan Hidup, dan ESDM serta instansi terkait lain tentang pengusahaan air, maka aktivitas itu seharusnya dihentikan sementara sampai perizinan dipenuhi, hal ini bisa memberikan rasa aman bagi warga sekitar serta jaminan stabilitas berusaha bagi pemilik usaha” ujarnya.
Lebih lanjut, Andik menegaskan bahwa dampak dari penggunaan air yang tidak terkendali dapat menimbulkan dua ancaman sekaligus: sosial dan ekologis.
Dari sisi sosial, potensi konflik antarwarga bisa muncul akibat krisis air bersih. Sedangkan dari sisi ekologis, kawasan resapan air bisa terganggu, apalagi wilayah Malang Selatan dikenal sebagai kawasan karst atau kapur.
“Air di kawasan kapur itu ibarat spons saling terkait antar daerah, jadi kalau dieksploitasi tanpa kajian lingkungan, bisa memicu bencana baru baik di kawasan sekitar izin usaha maupun daerah lain,” tegasnya.
Ia menambahkan, penggunaan sumber air skala besar juga bersinggungan dengan isu ketahanan pangan (food security) dan perubahan iklim. Menurutnya, air adalah penopang utama dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan pertanian masyarakat.
“Ketika air digunakan berlebihan untuk industri tanpa pengawasan, maka cadangan air tanah bisa berkurang, yang akhirnya memicu krisis pangan dan memperparah dampak perubahan iklim,” kata Andik.
Dari hasil pemantauan lapangan, Andik menyebut ada indikasi perpanjangan izin pengusahaan air di lokasi tersebut. Padahal, izin pengusahaan air dan izin penggunaan air memiliki perbedaan mendasar.
Pengusahaan air berarti menjual atau mendistribusikan air kepada pihak lain, sedangkan penggunaan air hanya untuk kepentingan sendiri.
“Nah, yang perlu dikaji, apakah Milkindo ini masuk kategori pengguna atau pengusaha air,” ungkapnya.
Andik juga menyoroti pentingnya kejelasan izin karena kegiatan di lokasi tersebut melibatkan dua sektor sekaligus, yakni industri dan pariwisata. Ia menilai semestinya ada dua izin berbeda agar pengawasan dan kewajiban pajak dapat berjalan transparan.
“Kalau satu izin digunakan untuk dua usaha, itu harus dikaji ulang. Karena ada potensi kerugian negara dan ketimpangan ekonomi di masyarakat,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Andik mendesak pemerintah daerah untuk segera turun tangan menelusuri dan meninjau ulang kelengkapan perizinan yang dimiliki CV Milkindo. Jika sudah sesuai dapat beroperasi normal dan perusahaan menjalankan pemenuhan tanggung jawab usaha dan sosialnya.
Hal tersebut juga berlaku untuk perusahaan lain yang juga melakukan pengguna dan pengusahaan air, Ia juga mengingatkan agar setiap kegiatan pemanfaatan air dilakukan sesuai aturan untuk menjaga keseimbangan alam dan keadilan sosial.
“Kami hanya mendorong agar semua pihak taat aturan, karena air bukan hanya kebutuhan industri, tapi juga hak hidup masyarakat,” pungkas Andik.




















