Sudutkota.id – Di tengah padatnya lalu lintas Kota Malang, berdiri kokoh sebuah patung perunggu pahlawan berkuda yang menjadi perhatian setiap orang yang melintas di kawasan bundaran taman depan SMPN 5.
Patung itu adalah monumen penghormatan kepada Mayor Jenderal TNI (Anumerta) Hamid Rusdi, pahlawan asal Malang yang namanya harum dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Patung Hamid Rusdi bukan hanya elemen estetika kota, melainkan simbol keberanian dan pengorbanan seorang putra daerah. Letaknya pun sangat strategis. Di sisi utara terdapat SMPN 5 Kota Malang, ke arah barat laut berdiri RS Lavalette, salah satu rumah sakit tertua di kota ini, sementara di sekitarnya terdapat ruas populer Jalan Bengawan Solo.
Menariknya, tepat di sebelah timur patung, terbentang Jalan Jenderal Hamid Rusdi yang juga diabadikan dari nama sang pahlawan. Kawasan bundaran ini sekaligus dipercantik dengan taman kota yang rindang sehingga menghadirkan nuansa teduh di tengah kesibukan lalu lintas.
Hamid Rusdi lahir pada 1911 di Desa Sumbermanjing Kulon, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang. Sejak muda ia aktif di kepramukaan sebagai anggota Pandu Ansor dan dalam kegiatan Nahdlatul Ulama (NU). Ia sempat bekerja sebagai sopir hingga sipir di Lapas Lowokwaru, sebelum akhirnya menekuni jalan perjuangan.
Pada masa pendudukan Jepang, Hamid bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air) dengan pangkat Sudanco (Letnan I). Dari sana ia menyiapkan pasukan bawah tanah untuk menyongsong kemerdekaan.
Setelah Proklamasi 1945, Hamid memimpin aksi heroik melucuti senjata tentara Jepang di Malang, yang kemudian menjadikan rakyat lebih berdaya dalam mempertahankan kemerdekaan
Ketika Belanda melancarkan agresi militer, Hamid Rusdi dipercaya menjadi komandan pertahanan wilayah Pandaan–Pasuruan dan kemudian Malang Raya.
Pada Agresi Militer I tahun 1947, ia terkenal dengan strategi “Malang Lautan Api” berkeliling kota menggunakan jeep sambil menyerukan rakyat untuk membakar bangunan peninggalan Belanda agar tidak jatuh ke tangan musuh.
Dalam masa gerilya, Hamid juga dikenal cerdik. Ia mencetuskan bahasa walikan, sistem komunikasi rahasia dengan membalik susunan kata, untuk mengelabui mata-mata Belanda. Bahasa ini kemudian berkembang menjadi budaya khas Malang hingga sekarang.
Pada 8 Maret 1949, di Desa Wonokoyo, Malang, rumah persembunyian Hamid Rusdi dikepung Belanda. Dalam baku tembak sengit, ia gugur bersama beberapa pasukannya. Jenazahnya semula dimakamkan di Wonokoyo, namun kemudian dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Suropati Kota Malang.
Atas jasa-jasanya, pemerintah menganugerahkan pangkat anumerta Mayor Jenderal. Namanya kini diabadikan pada berbagai fasilitas publik, termasuk Jalan Jenderal Hamid Rusdi yang terletak persis di timur patung berkuda ini, terminal, hutan kota, hingga monumen yang berdiri megah di bundaran taman. Patung tersebut sendiri diresmikan pada tahun 1975 sebagai penghormatan abadi atas perjuangannya.
Bagi warga Malang, monumen Hamid Rusdi lebih dari sekadar patung. Ia adalah simbol kebanggaan, pengingat sejarah, sekaligus inspirasi bagi generasi muda. Keberadaannya di jantung kota menegaskan bahwa perjuangan dan pengorbanan para pahlawan tak pernah lekang oleh waktu.
Patung Jenderal Hamid Rusdi yang kini berdiri tegak di bundaran taman bukan hanya ikon kota, tetapi juga lambang semangat perjuangan yang terus hidup dalam ingatan arek-arek Malang dan seluruh bangsa Indonesia.(mit)