Sudutkota.id– Di tengah geliat pembangunan Kota Malang yang kian dinamis, sebuah bangunan bergaya kolonial tetap berdiri anggun di kawasan Tugu. Gedung Balai Kota Malang, yang kini menjadi pusat pemerintahan kota, menyimpan sejarah panjang yang tak banyak diketahui warga, termasuk kisah tentang jam raksasa yang pernah menghiasi fasad timurnya.
Memasuki usia ke-111 tahun pada 2025, Kota Malang menapaki perjalanan panjang sejak ditetapkan sebagai Gemeente Malang pada 1 April 1914 oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Menurut sejarawan Kota Malang, Dr. Dwi Cahyono, saat itu Malang tumbuh pesat sebagai kota peristirahatan dan pusat administrasi di wilayah pegunungan yang sejuk.
“Gedung Balai Kota Malang dibangun pada 1927 dan diresmikan dua tahun kemudian, pada 1929. Desainnya memadukan arsitektur kolonial klasik dengan adaptasi tropis. Letaknya pun simetris dengan taman bundar di depannya, yang kini dikenal sebagai Alun-Alun Tugu,” terangnya
Selain menjadi kantor pemerintahan, Balai Kota juga dirancang sebagai pusat orientasi ruang kota. Tugu yang berada di depannya ditambahkan belakangan sebagai simbol perjuangan rakyat, mencerminkan peralihan dari kekuasaan kolonial menuju semangat nasionalisme yang tumbuh pada masa pergerakan.
Namun, salah satu elemen penting dari bangunan ini kini hanya hidup dalam ingatan adalah jam raksasa yang dahulu terpasang di sisi timur bangunan.
“Jam itu bukan sekadar ornamen, tapi juga penunjuk waktu publik pada masa ketika jam tangan belum umum dimiliki. Bahkan jam itu bisa dilihat dari kejauhan dan menjadi penanda aktivitas warga di sekitar Tugu dan Pasar Besar,” ujarnya.
Keberadaan jam publik seperti ini merupakan bagian dari estetika kota kolonial, yang menekankan keteraturan visual dan fungsi simbolik. Sayangnya, dokumentasi tertulis soal jam raksasa ini sangat terbatas. Berdasarkan arsip foto dan kesaksian warga, jam tersebut masih terlihat setidaknya hingga awal 1980-an sebelum akhirnya hilang, kemungkinan besar akibat renovasi atau penyesuaian fungsi bangunan.
Kini Balai Kota Malang tetap menjadi salah satu ikon visual kota. Bangunannya kerap dijadikan latar foto, lokasi upacara kenegaraan, hingga destinasi wisata sejarah. Namun, hilangnya elemen-elemen arsitektural seperti jam raksasa itu menyisakan pertanyaan soal komitmen terhadap pelestarian warisan budaya.
Menurut Dwi Cahyono, momen peringatan 111 tahun Malang bisa menjadi titik refleksi.
“Kota ini dibangun dengan gagasan yang kuat. Balai Kota adalah salah satu manifestasi tata ruang kolonial yang diwariskan hingga kini. Kita perlu menjaga nilai historisnya, termasuk elemen kecil tapi bermakna seperti jam itu,” bebernya.
Ia juga mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan rekonstruksi elemen visual lama, seperti menghadirkan kembali replika jam raksasa tersebut.
“Ini bukan soal nostalgia semata, tapi upaya membangun identitas visual kota yang kuat dan berkarakter,” tegasnya.
Hingga kini, Balai Kota Malang tetap berdiri tegak menghadap Alun-Alun Tugu, titik nol simbolis Kota Malang. Di balik dinding putih dan jendela-jendela simetrisnya, aktivitas pelayanan publik terus berlangsung.
“Namun di luar bangunan, jejak sejarah seperti jam raksasa itu terus mengendap dalam ingatan mereka yang sempat menyaksikannya,” pungkas Dwi. (mit)