Sudutkota.id – Kompleks Makam Ki Ageng Gribig di Kelurahan Madyopuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, kembali menjadi sorotan dalam kajian sejarah dan arkeologi.
Pada Minggu, 6 Juli 2025, para akademisi, mahasiswa sejarah, dan masyarakat umum berkumpul dalam sebuah diskusi terbuka untuk menggali narasi sejarah dari nisan-nisan tua yang tersebar di kawasan tersebut.
Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber utama: Ismail Lutfi, sejarawan yang mendalami historiografi tokoh-tokoh lokal, dan M. Satok Yusuf, peneliti arkeologi dari Universitas Indonesia yang khusus meneliti tipologi nisan dan artefak pemakaman di Pulau Jawa.
Dalam pemaparannya, Ismail Lutfi menekankan bahwa kompleks makam ini bukan hanya pusat spiritual masyarakat, melainkan juga arsip terbuka yang menyimpan lintasan sejarah panjang penyebaran Islam dan pembentukan elite lokal di wilayah Malang.
“Kompleks ini bukan sekadar tempat ziarah, tetapi juga tempat yang memuat lapisan sejarah dari berbagai zaman—mulai dari Islam awal, era Mataram-Islam, hingga masa kolonial dan awal kemerdekaan,” terang Ismail.
Diskusi juga menyinggung pentingnya pendataan dan konservasi. Banyak informasi sejarah yang bisa hilang jika makam-makam tua tidak segera didokumentasikan.
“Semakin lengkap data diri dan tipologi tokoh yang kita miliki, semakin dalam kita bisa menulis sejarah lokal yang berakar kuat,” kata Ismail.
Dengan kekayaan sejarah yang terbentang dari ujung timur hingga selatan kompleks makam, kawasan Ki Ageng Gribig layak disebut sebagai arsip terbuka sejarah Malang.
M. Satok Yusuf menjelaskan, nisan bukan hanya penanda kuburan, tetapi juga “artefak sosial” yang mencerminkan identitas, status, dan bahkan profesi orang yang dimakamkan. Ia mencontohkan satu nisan marmer berbentuk dada, yang mungkin milik seorang arsitek atau seniman.
“Bentuk, bahan, dan tulisan di nisan bisa jadi kode biografi. Apakah dia Muslim taat, tokoh politik, bangsawan, atau pemuka agama, Semuanya terekam di situ,” tegasnya. (mit)