Sudutkota.id – Dunia pertanian Indonesia mendapat kabar menggembirakan dari kampus Universitas Brawijaya (UB) Malang. Pandu Aji Wicaksono, mahasiswa Fakultas Pertanian UB, berhasil menciptakan alat pendeteksi kadar C-organik serta kandungan nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) pada tanah secara cepat dan akurat.
Temuan ini hadir sebagai jawaban atas persoalan klasik petani Indonesia: pemupukan yang dilakukan secara perkiraan tanpa data ilmiah. Selama ini, mayoritas petani menabur pupuk berdasarkan kebiasaan atau pengalaman turun-temurun, tanpa mengetahui kadar nutrisi awal di dalam tanah.
Akibatnya, dosis pupuk kerap tidak sesuai, terlalu sedikit membuat tanaman kekurangan gizi, sedangkan kelebihan pupuk bisa merusak tanah, menghambat pertumbuhan, bahkan mencemari lingkungan.
“Selama ini petani memupuk berdasarkan kebiasaan, bukan data. Kalau dosisnya berlebihan, tanaman bisa cepat rusak dan tanah menjadi jenuh kimia. Dari situ saya terpikir membuat alat ini agar pemupukan lebih presisi,” ujar Pandu, Jumat (8/8/2025).
Alat yang dikembangkan Pandu memanfaatkan sensor analisis kimia tanah. Petani hanya perlu mengambil 10 gram sampel tanah, memasukkannya ke dalam alat, dan menunggu beberapa menit. Hasil pengukuran akan ditampilkan dalam bentuk persentase atau satuan miligram per 100 gram tanah, sesuai standar analisis pertanian.
Tidak berhenti di situ, Pandu juga mengembangkan aplikasi pendamping di ponsel. Aplikasi ini menampilkan hasil pengukuran sekaligus memberikan rekomendasi dosis pupuk sesuai jenis tanaman yang dipilih.
“Misalnya tanah di kebun pepaya ternyata hanya memiliki kandungan nitrogen 3%, maka aplikasi akan memberikan saran berapa banyak pupuk nitrogen yang perlu ditambahkan. Jadi petani tidak perlu menebak-nebak lagi,” jelasnya.
Inovasi ini tengah dikembangkan bersama PT Pupuk Indonesia. Rencananya, pada Desember 2025 akan diproduksi 30 unit sebagai tahap uji coba di beberapa daerah. Pandu menyebut, harga alat ini jauh lebih murah dibandingkan produk impor dengan fungsi serupa yang bisa mencapai tiga hingga lima kali lipat lebih mahal.
“Kami memang menekan biaya produksi supaya petani di desa bisa memiliki akses. Ke depan, alat ini akan kami patenkan dan produksi massal,” kata Pandu.
Masalah penggunaan pupuk berlebih sudah lama menjadi sorotan. Selain membuat biaya produksi tinggi, hal ini juga berdampak pada kesehatan tanah dan kualitas air. Teknologi deteksi nutrisi tanah seperti yang dikembangkan Pandu diharapkan menjadi pintu masuk menuju pertanian presisi yang ramah lingkungan.
“Kalau petani paham kondisi tanahnya, pemupukan jadi tepat sasaran. Produktivitas naik, biaya berkurang, dan lingkungan tetap terjaga,” tegas Pandu.
Kepala Dinas Pangan dan Pertanian (Dispangtan) Kota Malang, Slamet Husnan, menyatakan dukungannya terhadap inovasi ini.
Menurutnya, karya mahasiswa UB tersebut sangat relevan dengan tantangan pertanian saat ini, di mana petani harus mampu menyesuaikan pemupukan dengan kondisi lahan secara tepat.
“Kami sangat mengapresiasi karya anak muda ini. Alat seperti ini memang yang dibutuhkan petani, apalagi jika harganya terjangkau. Dengan adanya data yang akurat, petani bisa mengatur dosis pupuk sesuai kebutuhan tanaman, sehingga hasil panen bisa meningkat dan tanah tetap subur,” ujar Slamet.
Ia berharap inovasi ini tidak berhenti di tahap prototipe. “Kalau bisa diproduksi massal, kami siap membantu mengoordinasikan agar petani di Kota Malang bisa menjadi pengguna awalnya. Semakin cepat dioperasionalkan, semakin cepat pula manfaatnya dirasakan,” tambahnya.
Dengan inovasi ini, langkah menuju pertanian berbasis data bukan lagi sekadar wacana. Dari kampus di Kota Malang, ide sederhana yang dikerjakan dengan ilmu dan tekad bisa menjadi solusi besar bagi ketahanan pangan nasional.(mit)