Sudutkota.id – Gelombang demonstrasi yang dipicu oleh kematian Affan Kurniawan, seorang driver ojol yang dilindas rantis Brimob, berubah menjadi fenomena sosial-politik yang belum pernah terjadi di Indonesia. Tidak hanya mahasiswa, rakyat lintas kelompok turun ke jalan, bahkan mendatangi rumah pejabat menjarah dan membakarnya. Apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan rakyat Indonesia?
Dua hari terakhir, Indonesia diguncang demonstrasi besar-besaran. Awalnya, massa berkumpul di depan Gedung DPR RI menuntut akuntabilitas pemerintah dan DPR RI terkait berbagai kebijakan yang dikeluarkan terutama terkait dengan gaji dan tunjangan DPR RI. Setelah insiden tragis menewaskan Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online. Affan dilindas kendaraan taktis Brimob ketika aparat membubarkan massa dengan cara represif, sebuah tragedi yang seketika menyulut kemarahan publik.
Namun, yang terjadi selanjutnya jauh di luar dugaan. Aksi tidak berhenti di Senayan. Dari Jakarta, kemarahan menjalar ke seluruh daerah, Surabaya, Makassar, Medan, Bandung, Jogjakarta hingga kota-kota menengah. Gedung DPRD dibakar, kantor kepolisian dirusak, bahkan rumah pejabat DPR RI ikut jadi sasaran massa yang marah. Fenomena ini mengejutkan, sebab biasanya demonstrasi di Indonesia, meski besar, relatif terkendali.
Kali ini berbeda. Rakyat yang selama ini hanya mengeluh di warung kopi, mendadak mengambil jalan ekstrem, merusak simbol kekuasaan. Pertanyaannya, mengapa ledakan sosial sebesar ini bisa terjadi?
Dari Demonstrasi ke Revolt Sosial
Jika ditelusuri, ada dua lapisan penyebab, pemicu langsung dan akar struktural.
Pertama, pemicu langsung jelas, yakni kematian Affan Kurniawan. Publik melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana aparat yang seharusnya melindungi malah menghilangkan nyawa rakyat kecil dengan peristiwa yang menurut banyak mata sangat tragis dan kejam yaitu dilindas dengan mobil rantis brimob.
Kedua, akar struktural yang jauh lebih dalam, yakni krisis ekonomi yang mencekik, kesenjangan yang kian lebar, serta kebijakan negara yang kerap tidak berpihak pada rakyat.
Di era pemerintahan saat ini, jargon efisiensi dan penghematan sering didengungkan. Namun ironisnya, alokasi anggaran DPR dan pejabat justru meningkat. Tunjangan fasilitas pejabat naik, sementara daya beli masyarakat merosot. Pajak makin menjerat rakyat kecil, dari barang kebutuhan pokok hingga aktivitas sehari-hari. Rakyat merasakan ketidakadilan yang nyata, dan Afan seakan menjadi simbol perlawanan itu.
Dengan kata lain, kasus Affan bukan hanya soal korban represif aparat. Ia adalah “trigger” yang membuka kotak pandora kemarahan rakyat.
Fenomena Baru, Menyerang Simbol Kekuasaan dan Privilege
Yang paling mengejutkan adalah tindakan massa yang mendatangi rumah pribadi pejabat DPR seperti Ahmad Sahroni, Eko Patrio, hingga Uya Kuya. Mereka tidak sekadar berdemo di depan kantor parlemen, tetapi langsung menyasar pejabat yang dianggap arogan dalam ucapan dan kebijakan.
Fenomena ini baru dalam sejarah Indonesia modern. Pada masa Reformasi 1998, amarah rakyat diarahkan pada simbol negara. Gedung DPR, kantor pemerintah, atau pusat ekonomi. Namun kali ini, targetnya lebih personal yakni rumah pejabat, harta pribadi, dan simbol kekayaan.
Pesannya jelas, rakyat muak bukan hanya pada lembaga, tetapi juga pada perilaku individu pejabat yang dianggap jauh dari penderitaan rakyat. Sikap arogan, statement kontroversial, dan gaya hidup mewah pejabat kian menyulut api amarah.
Faktor Ekonomi, Pemicunya yang Paling Nyata
Fenomena politik jalanan yang brutal ini tidak bisa dilepaskan dari krisis ekonomi yang menghimpit. Data BPS menunjukkan daya beli masyarakat terus melemah, inflasi pangan tinggi, sementara lapangan kerja baru tidak sebanding dengan kebutuhan.
Di sisi lain, pajak diperluas dan diperketat, hingga muncul istilah sinis di media sosial “di Indonesia semua bisa kena pajak, kecuali pejabat korup.” Kesan ketidakadilan fiskal ini menimbulkan frustrasi publik dan kemarahan publik.
Maka ketika Affan, simbol rakyat kecil pencari nafkah harian, tewas karena represi aparat, akumulasi amarah sosial itu meledak. Ia menjadi representasi penderitaan rakyat yang sehari-hari bergulat dengan ekonomi sulit, tetapi justru diperlakukan semena-mena oleh negara.
Aparat dan Kekerasan yang Tak Pernah Berubah
Faktor lain yang membuat situasi makin panas adalah gaya penanganan demonstrasi oleh kepolisian. Sejak lama, pola represi selalu sama, gas air mata, pentungan, penangkapan, dan kendaraan taktis yang mengintimidasi. Tidak ada pergeseran ke pendekatan persuasif atau dialogis bahkan humanis.
Kapolri dari waktu ke waktu menjanjikan reformasi penanganan aksi massa, tetapi tragedi demi tragedi justru berulang. Publik akhirnya menyimpulkan, negara memang tidak pernah berniat memperbaiki. Aparat dianggap hanya tahu satu bahasa yakni kekerasan.
Kematian Affan mempertegas stigma itu, sekaligus meneguhkan pandangan bahwa aparat lebih sibuk melayani penguasa daripada melindungi rakyat.
Apa yang Sebenarnya Terjadi dengan Rakyat?
Pertanyaan penting kini, kenapa rakyat Indonesia tiba-tiba berani melawan dengan skala sebesar ini, bahkan hingga menjarah rumah pejabat?
Ada tiga analisis kunci, pertama, Akumulasi Frustrasi Sosial-Ekonomi.
Rakyat sudah terlalu lama menahan diri, Harga naik, pajak menjerat, pekerjaan sulit, sementara pejabat sibuk memperkaya diri. Kematian Afan menjadi “titik ledakan” dari frustrasi kolektif itu.
Kedua, Hilangnya Kepercayaan terhadap Institusi Politik.
DPR dianggap tidak lagi merepresentasikan rakyat, melainkan elit dan kepentingan oligarki. Maka yang diserang bukan hanya gedung, tetapi juga rumah pribadi sebagai simbol kekayaan dan privilege.
Ketiga, Normalisasi Kekerasan oleh Aparat. Karena negara terbiasa menggunakan kekerasan, rakyat pun akhirnya membalas dengan bahasa yang sama. Kekerasan negara melahirkan kekerasan rakyat, ini siklus yang berbahaya.
Ketika ini terjadi dan tidak ada langkah kongkrit, maka ada dampak jangka pendek dan panjang yang akan terjadi.
Dalam jangka pendek, eskalasi ini berpotensi menimbulkan instabilitas politik serius. Gelombang demonstrasi bisa berkembang menjadi krisis legitimasi kepada pemerintah jika tidak segera direspons baik.
Dalam jangka panjang, jika negara tidak segera berubah arah, rakyat bisa kehilangan rasa takut pada kekuasaan. Ketika ketakutan hilang, keberanian kolektif muncul, dan ini adalah modal sosial untuk revolusi. Sejarah membuktikan, banyak rezim tumbang bukan karena oposisi elit, tetapi karena rakyat kecil berbondong-bondong melawan kekuasaan.
Maka pemerintah harus segera melakukan tindakan dengan menggunakan pendekatan yang tidak hanya menggunakan pendekatan hukum normatif saja, akan tetapi juga harus menggunakan pendekatan humanis.
Prof. Mahfud MD pernah mengingatkan, di atas hukum normatif ada etika. Penegakan hukum boleh saja mengikuti aturan, tetapi jika mengabaikan etika kemanusiaan, ia akan kehilangan legitimasi.
Tragedi Affan adalah bukti nyata absennya etika itu. Aparat boleh berdalih menjalankan SOP, tetapi publik melihat kekerasan yang melampaui batas kemanusiaan.
Maka, solusi tidak cukup sekadar evaluasi prosedur. Negara harus mengubah paradigma, menempatkan etika dan kemanusiaan di atas kepentingan kekuasaan. Polisi harus berani meninggalkan pola represif, pemerintah harus berani memangkas privilese pejabat, dan DPR harus kembali menjadi rumah rakyat, bukan rumah oligarki.
Fenomena demonstrasi kali ini adalah alarm keras bagi negara. Rakyat bukan lagi sekadar objek, tetapi telah menjadi subjek yang berani menantang kekuasaan. Kematian Afan Kurniawan adalah simbol perlawanan, dan jika negara gagal merespons dengan bijak, gelombang yang lebih besar bisa datang kapan saja.
Saat ini, pilihan ada di tangan penguasa, apakah akan terus menutup mata dan menambah luka, atau berani berubah mendengar suara rakyat. Sejarah sedang mencatat, dan bangsa ini tidak boleh lagi mengulang kesalahan lama.
Malang, 31 Agustus 2025
Penulis: Husnul Hakim SY, MH
Dekan FISIP UNIRA Malang, Pemerhati Kebijakan dan Hukum