Sudutkota.id – Lapangan Rampal bukan sekadar tempat olahraga atau pusat aktivitas warga. Kawasan ini memiliki nilai sejarah yang panjang, menelusuri jejak sejak masa pemerintahan kolonial Belanda.
Saat ini, secara resmi dikenal sebagai Lapangan Brawijaya, namun masyarakat Malang tetap akrab menyebutnya Rampal, nama yang tertanam kuat sejak zaman sebelum kemerdekaan.
Dahulu kala, sekitar awal abad ke-20, kawasan ini dikenal dengan sebutan Mindi, yang berfungsi sebagai tempat parkir bendi atau dokar (kereta kuda) yang menjadi alat transportasi umum pada masa itu.
Nama “Mindi” sendiri diduga berasal dari keberadaan pohon-pohon mindi (Melia azedarach) yang banyak tumbuh di kawasan tersebut, memberikan naungan alami bagi kusir dan penumpang bendi yang beristirahat.
Letaknya yang strategis, tidak jauh dari pusat kota kolonial (Klojen dan Kayutangan), membuat kawasan Mindi dijadikan tempat transit dan berkumpulnya kendaraan tradisional. Banyak warga Malang tempo dulu mengenang Mindi sebagai tempat yang ramai oleh suara derap kaki kuda dan aktivitas masyarakat.
Masuknya kekuasaan militer kolonial Belanda di Malang membawa perubahan besar pada fungsi kawasan ini. Sekitar tahun 1920-an hingga 1930-an, Belanda mulai menggunakan wilayah ini sebagai lapangan latihan militer untuk tentara Hindia Belanda (KNIL).
Kawasan yang semula berfungsi sipil mulai dimiliterisasi. Struktur-struktur pendukung militer pun dibangun di sekitarnya, termasuk barak dan markas kecil.
Pemerintah kolonial saat itu melihat potensi lapangan terbuka ini sebagai pusat kegiatan militer karena letaknya yang luas dan dekat dengan jalur logistik.
Saat pendudukan Jepang (1942–1945), lapangan ini tetap difungsikan untuk latihan militer, bahkan diperluas untuk keperluan barak pasukan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, kawasan ini tetap mempertahankan fungsinya sebagai area militer. Lapangan ini menjadi bagian dari instalasi TNI, dan sejak tahun 1950-an, ditetapkan sebagai lapangan utama untuk Batalyon Infanteri 512/QY.
Nama Rampal mulai melekat sejak masa ini, meskipun belum diketahui pasti asal usul nama tersebut, diduga berasal dari istilah militer atau tokoh tertentu.
Seiring perkembangan zaman, kawasan Lapangan Rampal dibuka untuk masyarakat sebagai ruang publik, tanpa meninggalkan identitas militernya.
Kini, Lapangan Rampal atau Lapangan Brawijaya menjadi salah satu jantung aktivitas warga. Setiap pagi, ratusan orang jogging, senam, atau sekadar jalan santai.
Di akhir pekan, suasananya berubah jadi pasar dadakan. Tenda-tenda kuliner, pakaian, hingga wahana bermain anak-anak memenuhi sisi lapangan. Deretan ruko dan warung kopi di sisi utara turut melengkapi denyut hidup kawasan ini.
Meski identitas militernya tak pernah benar-benar hilang, Lapangan Rampal berhasil menjadi ruang yang hidup dan inklusif bagi masyarakat.
Jejak sejarahnya yang panjang dari parkiran bendi era Belanda, lapangan latihan kolonial, barak Jepang, hingga markas tentara Indonesia, menjadikannya simbol bagaimana ruang kota bisa berubah fungsi, tapi tetap menyimpan cerita masa lalu yang tak boleh dilupakan.(mit)