Daerah

Jejak Kerawang dan Kirab Pusaka Warnai Tradisi Bersih Desa Tunggulwulung Malang

11
×

Jejak Kerawang dan Kirab Pusaka Warnai Tradisi Bersih Desa Tunggulwulung Malang

Share this article
Jejak Kerawang dan Kirab Pusaka Warnai Tradisi Bersih Desa Tunggulwulung Malang
Kirab pusaka dan jejak kerawang yang menjadi simbol pelestarian sejarah dan warisan leluhur.(foto:sudutkota.id/mit)

Sudutkota.id – Ratusan warga Kelurahan Tunggulwulung, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, tumpah ruah menghadiri prosesi sakral Bersih Desa di pelataran Kantor Kelurahan Tunggulwulung, Sabtu malam (27/7/2025).

Tradisi tahunan ini digelar dengan khidmat, diawali kirab pusaka dan jejak kerawang yang menjadi simbol pelestarian sejarah dan warisan leluhur.

Prosesi kirab berlangsung meriah namun penuh nuansa spiritual. Warga mengenakan pakaian adat Jawa, mengarak berbagai pusaka peninggalan leluhur, seperti: Tombak Pusoko Kiai Carub, Pedang Kiai Wulung Manggolo, Keris Kiai Nogososro, Payung Agung Sekar Arum, Panji Leluhur Tunggul Wulung dan beberapa pusaka lainnya.

Kirab dimulai dari halaman kantor kelurahan, dilanjutkan dengan doa bersama dan pertunjukan seni tradisi seperti jathilan ,tari topeng. dan campursari Songgo Laras.

Masyarakat dari berbagai kalangan dan usia turut hadir, memperlihatkan kuatnya semangat gotong royong dan kecintaan pada budaya sendiri.

Lurah Tunggulwulung, Himbar Wicaksana, menyebut bahwa kirab pusaka dan jejak kerawang bukan sekadar simbol, melainkan napak tilas sejarah desa yang panjang.

“Tradisi ini bukan sekadar ritual budaya, tapi juga bentuk penghormatan pada leluhur dan penyambung sejarah dari masa kerajaan hingga era kelurahan seperti sekarang,” kata Himbar.

Baca Juga :  Kasus Kecelakaan di Kota Batu Capai 132 dalam 6 Bulan Terakhir, Polisi: Waspadai 3 Black Spot

Secara historis, wilayah Tunggulwulung dipercaya telah ada sejak zaman Kerajaan Singhasari (sekitar abad ke-13), saat daerah ini masih berupa hutan belantara yang dikenal sebagai alas wingit (hutan keramat).

Dalam masa pemerintahan Raja Kertanegara, sebagian wilayah Malang mulai dibuka untuk pertanian dan permukiman. Konon, salah satu tokoh prajurit pelarian dari keraton mendirikan pemukiman kecil dengan menebang pohon besar dan menyisakan tunggul (pangkal batang) yang kemudian dianggap keramat karena memancarkan aura gelap dan sakral, atau dalam bahasa Jawa disebut wulung.

Dari sinilah nama Tunggulwulung berasal, gabungan dari kata tunggul (pangkal kayu atau sisa pohon) dan wulung (hitam atau agung). Nama ini kemudian digunakan untuk menyebut kawasan permukiman baru tersebut.

Pada masa Kerajaan Majapahit dan era kolonial Belanda, Tunggulwulung masuk wilayah administratif pedesaan agraris dan dijadikan daerah penyangga pangan karena kesuburan tanahnya.

Memasuki masa kemerdekaan Indonesia, Tunggulwulung masih berstatus sebagai desa, dan kemudian menjadi Desa Tunggulwulung secara resmi setelah penataan administratif pada tahun 1960-an.

Seiring pertumbuhan Kota Malang yang meluas, status Desa Tunggulwulung berubah menjadi Kelurahan Tunggulwulung pada tahun 1986, menyusul Peraturan Pemerintah tentang penataan wilayah perkotaan.

Baca Juga :  Polres Batu bakal Fokus Edukasi dan Penegakkan Disiplin dalam Operasi Keselamatan Semeru 2025

Setiap tahun, warga Tunggulwulung memperingati Hari Jadi Kelurahan Tunggulwulung pada tanggal 7 Juli, bertepatan dengan penetapan administratif resmi kelurahan berdasarkan arsip pemerintah daerah.

Namun, masyarakat adat tetap menjadikan momen Bersih Desa sebagai peringatan spiritual sekaligus wujud syukur atas panjangnya perjalanan sejarah desa mereka.

“Secara administratif ulang tahun kelurahan kami jatuh pada 7 Juli, tapi secara adat dan budaya, puncaknya ya di Bersih Desa. Inilah titik temu antara sejarah, adat, dan pemerintahan,” ujar Himbar.

Tradisi Bersih Desa menjadi semacam oase budaya di tengah kehidupan urban warga Malang. Meskipun wilayah Tunggulwulung kini telah banyak berkembang dengan permukiman modern dan akses pendidikan tinggi seperti Universitas Brawijaya di sekitarnya, masyarakat tetap menjaga identitas lokalnya dengan bangga.

“Kami ingin anak-anak muda tahu bahwa sebelum ada perumahan dan kampus, daerah ini dulu berdiri karena perjuangan dan doa para leluhur,” ungkap Mbah Karsono (74), tokoh adat Tunggulwulung.

Dengan semangat kolaborasi antara tokoh adat, pemerintah kelurahan, dan generasi muda, Tunggulwulung terus menjadi contoh bagaimana desa yang tumbuh menjadi kelurahan modern tetap bisa menjaga denyut sejarah dan budayanya.(mit)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *