Sudutkota.id – Sidang perkara dugaan penipuan dan penggelapan dana proyek pembangunan rumah dengan terdakwa Fernandus Yuda Wijaya digelar di Pengadilan Negeri (PN) Kota Malang, Rabu (6/8/2025).
Dalam sidang yang berlangsung di Ruang Kartika, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Su’udi, SH, dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Malang membacakan surat dakwaan setebal beberapa lembar, yang mengurai secara rinci perbuatan yang diduga dilakukan terdakwa.
Fernandus didakwa telah melakukan penipuan dan penggelapan atas dana pembangunan rumah milik korban berinisial N, seorang pengacara senior di Malang. Jaksa menyebut, total kerugian yang dialami korban mencapai Rp. 238.050.000, yang diserahkan secara bertahap kepada terdakwa sejak November 2023.
“Bahwa terdakwa dengan sengaja dan tanpa hak telah menguasai uang milik saksi korban N yang diberikan untuk keperluan pembangunan rumah, namun oleh terdakwa tidak digunakan sesuai kesepakatan. Sebagian dana digunakan untuk kepentingan pribadi, dan pekerjaan pembangunan ditinggalkan begitu saja,” ujar JPU Su’udi saat membacakan dakwaan di hadapan majelis hakim.
Dalam dakwaan primernya, JPU menjerat terdakwa dengan Pasal 378 KUHP tentang penipuan, dan subsider Pasal 372 KUHP tentang penggelapan. Keduanya merupakan delik pidana yang masing-masing memiliki ancaman hukuman maksimal empat tahun penjara.
Su’udi menjelaskan bahwa perkara ini berawal dari adanya kesepakatan antara korban dan terdakwa terkait pembangunan rumah tinggal di kawasan Perumahan Piranha Residence Blok B6, Kelurahan Tunjungsekar, Kota Malang.
Dalam kesepakatan tersebut, terdakwa berperan sebagai kontraktor atau pelaksana proyek. Korban, yang juga pemilik rumah, telah menyerahkan sejumlah uang secara bertahap dengan tujuan untuk membiayai tahapan pembangunan.
Namun, menurut dakwaan, terdakwa tidak menyelesaikan pembangunan sesuai rencana. Bahkan, sejumlah bagian fisik bangunan disebutkan tidak sesuai spesifikasi teknis, dan pembangunan sempat mandek dalam waktu lama.
Dalam penjelasan jaksa, terdakwa juga tidak memberikan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana, bahkan tidak dapat dihubungi sejak beberapa bulan terakhir proyek berjalan.
“Tindakan terdakwa memenuhi unsur untuk dianggap sebagai penipuan, karena sejak awal telah menimbulkan harapan palsu kepada korban, serta tidak menyelesaikan pekerjaan sebagaimana mestinya,” tegas Su’udi.
Jaksa juga menambahkan bahwa penyidikan telah mengumpulkan sejumlah bukti berupa dokumen perjanjian kerja sama tertulis, rekaman komunikasi elektronik, bukti transfer dana ke rekening terdakwa, serta foto-foto progres pembangunan yang menunjukkan ketidaksesuaian antara rencana dan realisasi fisik di lapangan.
Majelis Hakim menjadwalkan sidang lanjutan pada minggu depan dengan agenda pemeriksaan saksi dari pihak pelapor.
JPU Su’udi menyebutkan bahwa pihaknya akan menghadirkan lebih banyak alat bukti, termasuk arsip komunikasi, foto progres pembangunan, serta dokumen pengeluaran dana.
“Kami akan buktikan bahwa unsur pidana terpenuhi dalam perkara ini. Bukan sekadar sengketa biasa,” ujar Su’udi kepada wartawan.
Usai sidang, korban N, kepada awak media menyatakan bahwa ia sebenarnya telah mencoba menyelesaikan persoalan secara kekeluargaan. Ia bahkan mengaku telah menghubungi terdakwa berkali-kali untuk meminta pertanggungjawaban, namun tidak ada respons.
“Saya bukan langsung ke polisi. Saya hubungi baik-baik, minta ketemu, minta penjelasan, tapi justru saya diblokir dan ditinggal begitu saja. Pekerjaan rumah mangkrak. Ya sudah, saya tempuh jalur hukum. Itu hak saya sebagai warga negara,” tegas.
Ia berharap kasus ini menjadi peringatan bagi masyarakat agar lebih berhati-hati dalam menjalin kerja sama proyek dengan pihak yang belum terbukti kredibilitasnya secara profesional dan hukum.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa, Akuarius Gali Nono, menyatakan keberatan atas dakwaan jaksa. Ia menyebut bahwa persoalan ini seharusnya diselesaikan melalui ranah perdata, karena merupakan sengketa kontrak kerja antara dua pihak yang memiliki hubungan hukum secara sah.
“Ini seharusnya urusan wanprestasi, bukan pidana. Dalam perjanjian jelas disebutkan bahwa jika terjadi perselisihan, maka diselesaikan secara kekeluargaan atau melalui arbitrase. Tapi klien kami langsung dipidanakan. Ini bentuk kriminalisasi perdata,” tegasnya.
Ia juga menyatakan bahwa terdakwa sudah melakukan sebagian besar pekerjaan pembangunan, dan adanya perubahan desain serta kenaikan harga material menjadi penyebab proyek terhambat.(mit)