Sudutkota.id- Eropa tengah menghadapi gelombang panas pertama pada musim panas tahun ini. Seiring pemanasan global yang terus meningkat, suhu di sejumlah negara mencapai level ekstrem dan memicu kekhawatiran akan dampak kesehatan dan lingkungan.
Di Roma, suhu diperkirakan naik hingga 37 derajat Celsius. Ribuan wisatawan dan peziarah ke Vatikan yang memadati Kota Abadi mencari kesejukan di sekitar 2.500 air mancur umum yang tersebar di ibu kota Italia tersebut.
Sementara itu di Marseille, Prancis, suhu mendekati 40 derajat Celsius membuat pemerintah setempat membuka akses gratis ke kolam renang umum untuk membantu warga mengatasi panas ekstrem. Di Portugal, dua pertiga wilayah negara itu akan berada dalam status siaga tinggi akibat risiko suhu tinggi dan kebakaran hutan. Di Lisbon, suhu diperkirakan mencapai 42 derajat Celsius pada Minggu (29/06).
Kondisi serupa terjadi di Spanyol. Sebagian besar wilayah negeri itu diprediksi mengalami suhu di atas 40 derajat mulai akhir pekan ini. Pemerintah di wilayah Sisilia, Italia, juga mengeluarkan larangan kerja luar ruangan pada jam-jam terpanas, mengikuti kebijakan serupa di wilayah Liguria. Serikat pekerja di Italia pun mendesak agar kebijakan itu diperluas secara nasional.
Di Venesia, cuaca terik bahkan dirasakan para tamu dan pengunjuk rasa saat menghadiri pernikahan miliarder Jeff Bezos pada Jumat lalu (27/06).
“Saya berusaha tetap bergerak agar tidak terkena sengatan matahari, dan banyak minum air,” ujar Sriane Mina, seorang mahasiswa Italia yang ikut berunjuk rasa seperti dikutip dari AFP News.
Para ilmuwan sejak lama memperingatkan bahwa pembakaran bahan bakar fosil mempercepat pemanasan global, yang membuat gelombang panas di Eropa terjadi lebih sering dan lebih parah. Data Copernicus, lembaga pemantau iklim Uni Eropa, mencatat bulan Maret lalu sebagai Maret terpanas sepanjang sejarah Eropa.
Akibat pemanasan global, peristiwa cuaca ekstrem termasuk badai, kekeringan, banjir, dan gelombang panas seperti akhir pekan ini menjadi lebih sering terjadi dan lebih intens,
Tahun 2024, yang disebut-sebut sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat, telah menyaksikan bencana iklim di berbagai penjuru dunia. Menurut sejumlah perkiraan, kerugian akibat bencana tersebut diperkirakan mencapai lebih dari 300 miliar dolar AS. (kae)