Sudutkota.id – Di tengah meningkatnya ancaman bencana akibat perubahan iklim, ratusan relawan dan keluarga besar Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Kota Batu bersama komunitas Sahabat Alam Indonesia menggelar kegiatan Tadabur Alam di Pantai Kondang Merak, Desa Sumber Bening, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang.
Kegiatan yang diikuti lebih dari 150 peserta ini bukan sekadar wisata alam, melainkan aksi nyata edukatif untuk mengingatkan publik bahwa dampak perubahan iklim sudah terasa secara langsung di wilayah pesisir dan perdesaan.
Fenomena cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi, mulai dari hujan deras disertai angin puting beliung hingga banjir rob di kawasan pesisir, menjadi bukti bahwa krisis iklim bukan lagi isu masa depan.
Menurut Sahabat Alam Indonesia, proses rehabilitasi daerah terdampak degradasi lingkungan membutuhkan waktu panjang dan komitmen kolektif.
“Masyarakat perlu menghentikan aktivitas yang memperparah kerusakan lingkungan, seperti membuang sampah sembarangan, alih fungsi lahan tanpa izin, dan pembangunan di kawasan lindung,” ujar Andik Syaifudin, pendiri Sahabat Alam Indonesia, Senin (3/11/2025).
Ia menegaskan, kawasan penting seperti water catchment area dan sea belt (sabuk hijau pesisir) harus dijaga sebagai benteng alami yang melindungi masyarakat dari bencana ekologis.
Salah satu fokus kegiatan adalah edukasi rehabilitasi terumbu karang yang telah dilakukan komunitas selama hampir 15 tahun.
“Terumbu karang tumbuh sangat lambat, hanya 1–12 sentimeter per tahun. Padahal, di sinilah ribuan biota laut bergantung untuk makan, berlindung, dan berkembang biak,” jelas Fajrul Fallah, relawan Sahabat Alam Indonesia sekaligus anak nelayan asal Kondang Merak.
Ia menambahkan, rusaknya hutan di hulu berdampak langsung pada ekosistem laut di hilir. Banjir dan longsor membawa sedimen dan sampah ke laut, menyebabkan kerusakan besar pada terumbu karang yang menjadi sumber kehidupan nelayan pesisir.
Sahabat Alam Indonesia mendorong sinergi hexahelix antara pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat, LSM, dan media dalam membangun ketahanan ekologi nasional.
Pendekatan kolaboratif dinilai efektif untuk mengurai akar masalah lingkungan dan memperkuat benteng sosial konservasi melalui pembangunan berkelanjutan.
“Jangan sampai kita lebih sibuk membangun kembali setelah bencana terjadi, ketimbang berinvestasi pada mitigasi dan edukasi iklim yang justru bisa menyelamatkan banyak nyawa,” tegas Andik.
Selain edukasi dan diskusi, kegiatan ini juga diisi dengan aksi bersih pantai, penanaman pohon, serta praktik pengelolaan sampah berkelanjutan.
Sahabat Alam Indonesia mengajak masyarakat memulai perubahan dari hal sederhana: memilah sampah, menanam pohon penahan air, dan menjaga sempadan sungai serta pantai dari aktivitas yang merusak.
“Kami ingin menunjukkan bahwa menjaga bumi bukan proyek tahunan, tetapi pengabdian lintas generasi agar alam dan manusia dapat hidup berdampingan secara berkelanjutan,” pungkas Andik.



















