Wisata

Dwarapala di Tengah Warga: Saksi Bisu Kejayaan Singhasari

19
×

Dwarapala di Tengah Warga: Saksi Bisu Kejayaan Singhasari

Share this article
Dua arca Dwarapala peninggalan Kerajaan Singhasari masih berdiri kokoh di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari. (Foto: Agus D)

Sudutkota.id – Di tengah riuhnya kehidupan modern, dua sosok batu raksasa berdiri membisu. Tak bersuara, tapi menyimpan ribuan cerita. Mereka adalah arca Dwarapala, penjaga gerbang dari masa lalu yang masih setia mengawasi zaman, meski tak lagi berdiri di pelataran candi, melainkan di tengah perkampungan yang kian padat di Kelurahan Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Wilayah ini dulu dikenal sebagai pusat kekuasaan Kerajaan Singhasari pada abad ke-13. Kini, jejak kejayaannya hanya tersisa sebagian—salah satunya lewat patung Dwarapala yang masih bertahan.

Candirenggo: Dwarapala di Tengah Jalanan dan Rumah Penduduk

Di Candirenggo, sebuah arca Dwarapala berdiri setinggi hampir 3 meter. Sosoknya garang, matanya melotot, tangan kanan menggenggam gada. Patung ini ditemukan dalam kondisi relatif utuh, meski sebagian permukaan mulai aus dimakan waktu dan cuaca.

Dalam kepercayaan Hindu-Buddha, Dwarapala dikenal sebagai penjaga pintu gerbang candi atau istana. Ia bukan dewa, tapi bukan pula manusia biasa. Dalam kisah pewayangan, ia digambarkan sebagai makhluk kuat dan setia yang menjaga tempat suci dari gangguan roh jahat.

Menurut sejarawan Dwi Wicaksono, arca Dwarapala di Candirenggo diyakini dulunya menjaga gerbang utama bangunan penting milik Kerajaan Singhasari. Sayangnya, bangunan yang dijaganya telah lama hilang—mungkin hancur akibat gempa, tertimbun tanah, atau diambil batuannya pada masa kolonial.

Baca Juga :  Wali Kota Malang Perkuat Event Budaya Wisata Kuliner Halal "Madyopuro Mangano" dengan Dukungan Fasilitasi Sertifikat Halal

“Catatan Belanda dari tahun 1908–1910 sudah menyebut keberadaan patung ini. Artinya, sejak lebih dari seabad lalu, arca ini sudah jadi perhatian,” ujar Dwi.

Kini, arca tersebut berdiri di halaman terbuka dengan dikelilingi pagar sederhana. Beberapa warga bahkan menyebutnya dengan nama lokal: Buto.

“Kalau dulu orang takut, sekarang malah jadi tempat foto. Tapi belum ada perhatian dari pemerintah secara serius,” kata Pak Suyono, warga sekitar.

Penjaga Zaman yang Terlupakan

Lingkungan sekitar Dwarapala kini telah berubah. Jalan-jalan beton, tiang listrik, dan rumah-rumah padat penduduk mengelilingi patung yang dulunya mungkin berdiri megah di depan bangunan kerajaan.

Namun menurut Dwi, perubahan ini justru mempertegas simbolisme arca sebagai penjaga zaman.

“Dulu ia menjaga istana dan tempat suci. Sekarang, ia menjaga ingatan kita akan sejarah yang perlahan memudar,” ucapnya.

Pemerintah Kabupaten Malang sempat menggulirkan wacana menjadikan lokasi ini sebagai situs wisata sejarah. Saat ini sudah ada papan informasi sejarah dan petugas penjaga yang membantu pengunjung saat hendak berwisata di tempat itu.

Baca Juga :  Lama Tak Beroperasi, Pemkot Batu Berwacana Mengganti Bianglala di Alun-alun

Keberadaan arca ini menyimpan potensi besar untuk wisata edukatif, kebanggaan daerah, dan pembelajaran sejarah yang hidup.

“Kita bisa belajar banyak dari Dwarapala. Bukan cuma soal arkeologi, tapi juga soal kesadaran sejarah dan tanggung jawab merawatnya,” tegas Dwi.

Komentar Pengunjung dan Warganet: Dari Takut ke Takjub

Ahmad Efendi, salah satu pengunjung, mengajak anak dan istrinya melihat arca tersebut. Baginya, Dwarapala bukan sekadar objek foto, tapi simbol kejayaan nenek moyang yang patut dikenalkan ke generasi muda.

“Anak saya lebih kenal tokoh film luar negeri daripada tahu siapa Ken Arok atau apa itu Singhasari. Padahal kita punya sejarah luar biasa di sini,” ujarnya.

Di media sosial, foto Dwarapala ini—baik versi masa kolonial maupun kondisi sekarang—kembali viral, mengundang komentar dari banyak netizen:

“Aura magisnya masih terasa. Tapi sayang banget kalau cuma dibiarkan begitu saja,” tulis akun @galihwijaya.

“Bisa jadi tempat wisata sejarah. Anak sekolah bisa belajar langsung di lapangan,” kata @dianingrum.ayu.

“Kok bisa ya, patung segede itu dulu ketutup hutan. Sekarang malah di tengah kampung. Luar biasa perjalanannya,” komentar akun @wisnu_kelana. (mit)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *