Sudutkota.id – Kisruh cabang olahraga (cabor) anggar dalam gelaran Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Jawa Timur IX 2025 menyeret nasib tragis para atlet Kota Malang.
Meski berhasil meraih medali emas dan menyabet predikat juara umum, para atlet anggar Kota Malang justru pulang tanpa membawa medali, sertifikat, apalagi uang bonus.
Penyebabnya adalah konflik antara KONI Jawa Timur dan pengurus cabang olahraga anggar yang berujung pencoretan sepihak dari daftar resmi pertandingan.
Kejadian ini bermula dari keputusan KONI Jatim memberhentikan Technical Delegate (TD) cabor anggar, Badrul Alam, sebelum pertandingan digelar.
Dalam rapat yang diklaim resmi oleh KONI Jatim pada 22 Juli 2025, TD dinyatakan tidak lagi memiliki kewenangan menjalankan tugas. KONI Jatim mengklaim surat pemberhentian telah disampaikan pada 1 Juli 2025 disertai tanda terima, dan TD disebut telah menerima peringatan sejak 30 Juni.
Namun, Badrul membantah. Ia menegaskan tidak pernah menerima surat pemberhentian.
“Saya tidak pernah menandatangani atau menerima surat itu. Kalau mau jelas, silakan tanya langsung ke Ketua Pengprov IKASI Jatim, Pak Agung Setiawan,” ujarnya.
Ketua KONI Kota Malang, R. Djoni Sudjatmoko, menyatakan pihaknya hanya mengikuti arahan resmi dari KONI Jatim. Ia menegaskan bahwa keputusan penghentian pertandingan telah melalui koordinasi dengan Gubernur Jawa Timur dan Ketua KONI Pusat.
“Penolakan hanya datang dari pelatih dan ofisial anggar, bukan KONI kota maupun kabupaten peserta. Kami tetap tunduk pada keputusan KONI Jatim karena TD berada di bawah kewenangan mereka,” kata Djoni, Kamis (31/7/2025), sore.
Menurutnya, dualisme organisasi anggar di tingkat pusat turut memperkeruh situasi. Saat ini, Pengurus Besar (PB) Anggar terbagi dua: satu di bawah KONI yang dipimpin Agung Setiawan, dan satu lagi berada di bawah KOI yang diketuai Amir Yanto.
Meski sudah bertanding di venue resmi Porprov, para atlet Kota Malang yang memperoleh medali justru dinyatakan ‘tidak sah’. Karena cabor anggar kemudian dicoret dari daftar pertandingan resmi. KONI Jatim menyebut pertandingan tersebut diluar kendali karena TD-nya sudah diberhentikan.
Imbasnya, para atlet tidak menerima medali, sertifikat, maupun bonus dari pemerintah daerah. Bahkan, status pertandingan mereka dianggap ilegal oleh panitia resmi. Meski sejak awal pertandingan sudah diumumkan dan dilaksanakan sesuai jadwal teknis.
Persoalan ini menarik perhatian Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT). Ketua Umum JKJT, Agustinus Tedja G. K. Bawana, menilai perlakuan terhadap atlet merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap perlindungan anak dan hak atlet muda.
“Seorang atlet Kota Malang berhasil meraih dua medali emas dan membawa Kota Malang juara umum, tapi setelah pertandingan, cabor ini dihapus dan prestasi mereka dianggap tidak pernah ada,” ujar Agustinus.
Menurutnya, hal ini melanggar UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, Perpres No. 95 Tahun 2017, serta UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. JKJT telah mengajukan permintaan audiensi kepada Ketua DPRD Kota Malang, Komisi A dan Komisi D.
“Kami minta DPRD mengawal proses klarifikasi, mendorong kompensasi baik materiel karena tidak terima bonus, maupun immateriel atas tekanan dan rasa kecewa mendalam yang dialami para atlet,” ujarnya.
JKJT juga menyampaikan seruan terbuka kepada Presiden RI, Prabowo Subianto dan Menpora, Dito Ariotedjo untuk turun tangan menyelesaikan konflik olahraga ini.
“Ini pembunuhan karakter terhadap anak-anak yang berprestasi. Kami minta Bapak Presiden hadirkan keadilan. Tidak ada kehormatan bangsa jika peluh generasi mudanya tidak dihargai,” ucap Agustinus.
Kisruh tak berhenti di Kota Malang. Sebanyak 12 atlet anggar asal Kabupaten Malang juga dilarang tampil dalam Porprov karena dianggap pernah mengikuti kejuaraan non-resmi.
Penolakan datang dari 19 dari 23 pengurus cabang IKASI se-Jawa Timur dalam rapat teknikal meeting di GOR Vira Cakti Yudha, Singosari, pada 30 Juni 2025, lalu.
“Keikutsertaan mereka dinilai melanggar karena sebelumnya tampil di event dari kelompok tandingan, serta tidak mengikuti Kejurprov sebagai syarat wajib,” jelas Ketua IKASI Jatim Agung Setiawan.
Meski sudah dicoba untuk dimediasi, mayoritas pengcab tetap menolak kehadiran 12 atlet tersebut. Bahkan ada ancaman pengunduran diri massal dari pengcab jika atlet Kabupaten Malang tetap diikutsertakan.
Technical Delegate Badrul Alam pun menegaskan bahwa keputusan menolak atlet yang mengikuti jalur luar KONI adalah bentuk konsistensi aturan.
“Kalau sudah keluar dari jalur KONI, ya tidak bisa main di acara KONI lagi. Ini soal organisasi, bukan soal pribadi,” katanya.
Ketua PB IKASI di bawah KONI, Agus Suparmanto, juga menegaskan tidak ada niat menghalangi siapapun. Namun semua peserta wajib taat struktur resmi.
Dengan berlarutnya konflik dualisme, tarik menarik kewenangan, serta keputusan sepihak, yang paling dirugikan justru para atlet muda. Mereka yang hanya ingin bertanding dan membawa harum daerahnya kini kehilangan hak, harga diri, dan semangat. Padahal mereka telah berjuang dengan sepenuh tenaga, demi prestasi dan kebanggaan daerah.
“Kalau ini dibiarkan, masa depan olahraga daerah bisa hancur. Yang dibutuhkan anak-anak ini bukan konflik, tapi penghargaan atas kerja keras mereka,” tutup Agustinus.(mit)