Nasional

Bungkam, Bank Jatim Terkesan Sepelekan Temuan BPK

7
×

Bungkam, Bank Jatim Terkesan Sepelekan Temuan BPK

Share this article
Kantor pusat Bank Jatim di Jl. Basuki Rakhmad 98-104, Surabaya, Jawa Timur. (Foto: Sudutkota.id/aa)

Sudutkota.id – Menyandang predikat sebagai bank terbesar di Jawa Timur (Jatim) sepertinya membuat PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk (Bank Jatim) berada di atas angin dan seakan tak ‘tersentuh’.

Padahal, di balik predikat itu, bank plat merah yang berpusat di Kota Surabaya ini kerap terganjal kasus korupsi dengan jumlah rupiah yang sangat fantastis, seperti kasus korupsi di Bank Jatim Cabang Jakarta senilai Rp 569,4 miliar.

Seperti halnya terkait dengan hasil pemeriksaan BPK atas pengelolaan beban operasional Tahun Buku 2021 s.d. Semester I Tahun 2022 pada Bank Jatim, tiga pekan lalu, tepatnya pada Kamis (4/12/2025), tim redaksi melakukan klarifikasi melalui surat tertulis, namun, hingga saat ini belum mendapat jawaban.

Saat itu, sekira pukul 16.15 WIB, tim redaksi memberikan surat klarifikasi, namun oleh security yang bertugas, tim diminta untuk memberikan di pos depan yang nantinya akan langsung diserahkan ke Corportae Secretary di lantai 4.

Sayangnya, hingga saat ini masih belum ada jawaban dari BPD nomor wahid di Jatim ini. Padahal hasil pemeriksaan BPK pada Bank Jatim cukup mencengangkan.

Apakah Bank Jatim memilih bungkam atau ‘menganggap enteng’ hasil temuan BPK agar kebobrokannya tak diketahui masyarakat?

Kembali pada pokok permasalahan, berdasarkan hasil temuan BPK, pemeriksaan kepatuhan menyoroti sejumlah aspek krusial. Diantaranya tenaga kerja, tata kelola remunerasi direksi dan dewan komisaris, penggunaan Tenaga Harian Lepas (THL), hingga pengelolaan beban bunga dana pihak ketiga.

Masih menurut temuan tersebut, BPK mencatat total beban operasional Bank Jatim pada aspek tenaga kerja mencapai Rp1,64 triliun sepanjang 2021 dan bertambah Rp784,67 miliar hingga Semester I 2022.

Dari hasil uji petik, BPK menemukan berbagai penyimpangan tata kelola yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip kehati-hatian, good corporate governance (GCG), serta ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Menurut laporan BPK, beban tenaga kerja mencakup remunerasi bagi direksi dan dewan komisaris (dekom), baik yang bersifat tetap maupun variabel. Remunerasi tetap meliputi gaji, tunjangan, fasilitas kesehatan, kendaraan, hingga asuransi purna jabatan. Sementara remunerasi variabel mencakup tantiem/jasa produksi, bonus HUT Bank Jatim, serta bonus akhir tahun.

Pada Tahun 2021, Bank Jatim merealisasikan remunerasi variabel bagi direksi dan dewan komisaris sebesar Rp58.735.018.940,75. Namun, BPK menilai perhitungan remunerasi tersebut tidak didasarkan pada penilaian Key Performance Indicator (KPI), sebagaimana diwajibkan dalam Peraturan OJK Nomor 45/POJK.03/2015.

BPK mengungkap bahwa 15 persen dari total remunerasi variabel dialokasikan kepada direksi dan dewan komisaris dengan dasar pembagian proporsional terhadap gaji atau honorarium bulanan, bukan berdasarkan kinerja. Padahal, ketentuan internal Bank Jatim maupun POJK secara tegas menyatakan bahwa remunerasi variabel harus dikaitkan dengan kinerja individu, unit bisnis, kinerja bank, serta risiko yang dihadapi.

Hasil evaluasi BPK terhadap kinerja Bank Jatim tahun 2021 menunjukkan bahwa tidak semua target yang diproyeksikan dalam Annual Report Tahun Buku 2020 tercapai. Target laba bersih sebesar Rp1,68 triliun hanya terealisasi Rp1,52 triliun, sementara target ekspansi kredit Rp45,68 triliun terealisasi Rp42,75 triliun.

Selain itu, data KPI self-assessment dewan komisaris menunjukkan bahwa indikator ekspansi kredit dan rasio kredit bermasalah (NPL) tidak terpenuhi. Bahkan, BPK tidak menemukan dokumen evaluasi KPI direksi yang dilakukan oleh dewan komisaris sebagaimana dipersyaratkan dalam pedoman manajemen kinerja Bank Jatim.

Meski demikian, kondisi tersebut tidak menjadi pertimbangan dalam penetapan remunerasi variabel. RUPS justru mendasarkan penilaian pada perbandingan kenaikan kinerja tahun sebelumnya, bukan pada target dan KPI yang telah ditetapkan.

Di sisi lain, BPK juga menemukan bahwa penerapan kebijakan malus atau penangguhan remunerasi bagi Material Risk Taker (MRT) tidak dilaksanakan secara menyeluruh. Penangguhan hanya diterapkan pada jasa produksi/tantiem, sementara bonus HUT dan bonus akhir tahun tetap dibayarkan, meskipun termasuk remunerasi variabel.

Selain itu, kewajiban pembagian remunerasi variabel dalam bentuk saham bagi bank terbuka belum sepenuhnya dipenuhi. Kondisi ini dinilai bertentangan dengan POJK serta prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kewajaran.

Pada aspek pengelolaan SDM, BPK mencatat bahwa hingga Mei 2022 Bank Jatim memiliki 4.356 pegawai dan 2.092 tenaga alih daya (TAD). Namun, kekurangan tenaga kerja di cabang mendorong 30 cabang merekrut Tenaga Harian Lepas (THL) dengan total biaya Rp5,49 miliar.

BPK menemukan bahwa sebagian THL ditempatkan pada posisi administrasi, kasir, teller, dan IT support yang berpotensi mengakses sistem core banking. Perekrutan ini tidak sesuai dengan kebijakan Divisi Human Capital yang melarang pengadaan THL.

Selain itu, pembebanan biaya THL dilakukan pada akun yang berbeda antar cabang, sehingga menyulitkan pengendalian dan membuat total biaya THL tidak terdeteksi secara akurat pada akhir tahun.

Berdasarkan hasil temuan BPK, Koordinator FAHKP, Taslim Pua Gading, S.H., M.H., menilai praktik tersebut berpotensi merugikan keuangan daerah.

“Kami mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebagai pemegang saham pengendali agar tidak bersikap pasif dan memastikan rekomendasi BPK dijalankan secara tegas, terbuka, dan menyentuh akar persoalan. Ini bukan hanya soal angka di neraca, tapi soal kredibilitas bank daerah. Jika dibiarkan, Bank Jatim sedang berjalan menuju krisis kepercayaan,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *